Serangan yang dilancarkan pejuang Palestina di Khan Younis baru-baru ini dinilai sebagai titik balik paling dramatis dalam perang penjajahan Israel atas Gaza. Operasi tersebut menewaskan tujuh tentara Israel dan disebut sebagai aksi paling berdarah sepanjang tahun 2025.

Saluran Al Jazeera menayangkan cuplikan eksklusif dari aksi Brigade Izzuddin al-Qassam (sayap militer Hamas) yang berhasil meledakkan dua kendaraan lapis baja Israel dalam sebuah penyergapan di Khan Younis, selatan Jalur Gaza. Dalam serangan itu, tujuh tentara Israel, termasuk seorang perwira, dilaporkan tewas.

Yang mengejutkan, militer Israel mengakui bahwa penyergapan tersebut dilakukan hanya oleh satu pejuang. Saluran televisi Israel Channel 13 pun melaporkan bahwa militer telah memulai penyelidikan awal atas insiden memalukan itu.

Analis politik dan strategi, Saeed Ziyad, menyebut serangan ini sebagai “operasi terbesar terhadap pasukan penjajah sejak awal 2025”.

Dia menegaskan bahwa operasi ini termasuk dalam rangkaian aksi paling berani yang pernah dilakukan pejuang Palestina sejak perang dimulai.

Ziyad mengungkapkan, pejuang menggunakan bom jenis Shawaz generasi ketiga seberat 21 kilogram. Bom itu tidak ditempatkan di bawah kendaraan seperti biasa, melainkan di dalam kendaraan tempur, membuatnya terbakar hebat. Api baru bisa dipadamkan setelah kendaraan dibawa keluar dari Jalur Gaza.

Lebih dari sekadar serangan fisik, dampak psikologis dari operasi ini begitu besar. Dua pejuang menyerbu konvoi lapis baja Israel berisi sekitar 20 tentara tanpa mendapat satu pun tembakan balasan. Menurut Ziyad, hal ini menunjukkan betapa longgarnya moral dan kesiapsiagaan tentara Israel, yang bertolak belakang dengan citra “pasukan perang aktif” yang selama ini dibangun.

Lebih Menyakitkan dari Rudal Iran

Sementara itu, akademisi dan pakar isu Israel, Muhannad Mustafa, menilai bahwa jumlah tentara yang tewas dan terluka dalam insiden Khan Younis jauh lebih menyakitkan bagi publik Israel dibanding serangan rudal Iran di Tel Aviv.

Ia menjelaskan, perang di Gaza kini semakin kehilangan legitimasi secara sosial dan politik di dalam negeri Israel, tanpa ada konsensus yang mendukungnya.

Mustafa juga menekankan bahwa kematian tentara Israel jauh lebih mengguncang dibanding kematian warga sipil. Israel kerap mengeksploitasi kematian warga sipil untuk propaganda, namun tewasnya tentaranya sendiri membuka borok kegagalan militer yang tak bisa disembunyikan.

Dalam wacana publik Israel, Mustafa menyebut istilah “kematian tentara telah menjadi hal absurd” sebagai refleksi dari kedalaman luka sosial yang ditimbulkan.

Strategi Perlawanan: Serang, Mundur, Habisi

Pakar militer dan strategi, Brigadir Elias Hanna, menjelaskan bahwa tujuan utama perlawanan Palestina adalah membuat Israel kehabisan sumber daya, terutama manusia. Ketika musuh tak mampu mengganti kerugian personel, krisis internal pun tak terhindarkan.

Menurutnya, kondisi ini kini tengah dirasakan Israel, kekurangan tentara cadangan dan terus bertambahnya korban jiwa.

Sementara itu, strategi perlawanan Hamas disebut lebih adaptif: mengulur waktu, tidak terpaku pada wilayah, dan fokus menjatuhkan korban sebanyak mungkin dari pihak musuh. Strategi ini memaksa Israel untuk bertempur dengan cara yang tidak mereka kuasai dan sulit untuk mereka antisipasi.

Tantangan Strategis Israel: Sejarah Selalu Berulang

Ziyad mengingatkan bahwa Israel sudah tiga kali terjerumus dalam perang attrition (perang menguras sumber daya), dan semuanya berujung kekalahan serta penarikan pasukan. Ia membandingkan kondisi hari ini dengan kegagalan militer Israel di Lebanon dan Gaza sebelumnya.

Dia menyimpulkan, Israel pasti kalah ketika perang berlangsung lama. Apalagi jika pertempuran berubah dari serangan udara menjadi pertempuran darat, maka kerugian besar hanya tinggal menunggu waktu.

Mustafa menambahkan bahwa klaim kemenangan Netanyahu atas Iran sengaja digembar-gemborkan untuk menutupi kegagalan di Gaza. Netanyahu, yang saat ini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional, diduga ingin mendorong Gaza menjadi “medan perang kedua” baik secara militer maupun politik.

Menariknya, survei terbaru di Israel menunjukkan perubahan drastis dalam opini publik: 69% warga Israel mendukung penghentian perang di Gaza. Bahkan, sekitar separuh dari pendukung koalisi pemerintahan menyuarakan hal serupa.

Secara politik, koalisi kanan Israel diperkirakan akan kehilangan 19 kursi jika pemilu digelar hari ini, turun dari 68 menjadi 47 kursi, tidak cukup untuk membentuk pemerintahan baru.

Pertimbangan Politik Bisa Hentikan Perang

Sejumlah analis menilai bahwa pertimbangan politik bisa mendorong Netanyahu untuk mempertimbangkan penghentian perang demi menyelamatkan “modal kemenangan” atas Iran.

Namun, meski wacana gencatan senjata kembali mencuat, Ziyad menegaskan bahwa setiap bentuk kesepakatan setengah hati tidak akan diterima oleh faksi-faksi perlawanan, maupun masyarakat Gaza secara umum.

Menurutnya, satu-satunya syarat utama yang tidak bisa ditawar adalah penghentian total perang. Hal itu mencakup 90% dari isi kesepakatan damai. Sisanya bisa dibicarakan, tetapi penghentian agresi adalah hal mutlak.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here