Spirit of Aqsa– The Wall Street Journal melaporkan, banyak tentara cadangan Israel yang frustasi dan kelelahan setelah 10 bulan bertempur di Jalur Gaza.
Dalam laporan tersebut, seorang tentara cadangan bernama Adi Hazan (41 tahun) menceritakan, setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, ia bergegas ke titik kumpul di Israel selatan. Ia mengira akan menjalani satu atau dua bulan dinas militer darurat, namun setelah hampir sepuluh bulan, hidupnya berubah menjadi kekacauan. Ia terjerat hutang, bisnis konstruksinya hampir bangkrut, dan keluarganya bergantung pada sumbangan teman-teman dan lembaga amal. Hazan mengungkapkan bahwa ia tidak melihat harapan atau cahaya di ujung terowongan.
Hazan bekerja selama 100 hari di Gaza dalam unit yang bertugas mengevakuasi korban, kemudian dipindahkan ke Tepi Barat sebagai bagian dari upaya Israel mengendalikan ketegangan yang meningkat seiring dengan agresi di Gaza. Ia menyampaikan kekhawatirannya kepada Wall Street Journal, “Saya tidak tahu apa yang akan terjadi? Tidak ada yang tahu bahwa situasi ini akan berlangsung lama.”
Hazan merasa semakin terperangkap oleh kondisi perang. Awalnya, ia mengira pekerjaan konstruksinya di timur Tel Aviv akan terhenti sebentar saat dipanggil bertugas di Gaza. Namun, dengan diperpanjangnya masa tugasnya, ia tidak bisa melanjutkan bisnisnya yang bergantung pada tim yang terdiri dari 13 orang Palestina dari Tepi Barat, yang semuanya dilarang masuk Israel sejak perang pecah.
Pengakhiran tugas militernya bisa membawa dampak lain, memaksanya menghadapi para kreditur yang mengklaim utang sebesar 250 ribu dolar. Saat ini, ia masih dilindungi oleh aturan untuk mereka yang bertugas militer, namun Hazan merasa semuanya runtuh.
Seorang tentara cadangan lain, Asaf Mor (45 tahun), awalnya bersemangat saat dipanggil bertugas pada 7 Oktober lalu. Selama 100 hari bertugas di Gaza, bisnis medisnya hampir runtuh secara finansial. Mor menyatakan bahwa selama bertugas di Gaza, ia harus menjalankan konvoi logistik ke Gaza di malam hari dan membuka laptop di pangkalannya di pagi hari untuk mengelola pembiayaan kliniknya dengan akuntannya. Hal ini membuatnya sangat lelah.
Ketika Mor dipanggil lagi pada April lalu, ia menolak. Ia merasa khawatir penolakannya akan mengecewakan unit militernya, namun ia tidak punya pilihan selain tetap di rumah dan berjuang untuk kelangsungan hidup keluarganya secara finansial. “Ini tidak bisa ditoleransi, salah satu krisis terberat dalam hidup saya,” katanya.
Penolakan Mor bukanlah kasus tunggal. Banyak tentara cadangan menolak bergabung dengan militer karena berbagai alasan. Meskipun penolakan ini bisa membawa sanksi, termasuk penjara, Israel jarang mengejar mereka secara hukum karena para perwira memahami tekanan yang dihadapi tentara cadangan.
Israel sangat bergantung pada tentara cadangan untuk menjaga kekuatan militernya selama krisis. Namun, dengan perang di Gaza yang mendekati bulan ke-11 dan meningkatnya konfrontasi dengan milisi regional seperti Hizbullah, banyak tentara cadangan mendekati titik kelelahan. Mereka merasa frustrasi, berjuang menyeimbangkan keluarga, pekerjaan, dan dinas militer, sementara beban ekonomi terus meningkat akibat perang.
Hal ini juga menjadi salah satu alasan mengapa pejabat Israel enggan melancarkan perang penuh terhadap Hizbullah, yang akan membutuhkan tentara cadangan yang sama untuk melawan kekuatan militer yang jauh lebih kuat dari Hamas. Situasi ini, menurut Wall Street Journal, mengungkapkan kelemahan jangka panjang Israel dalam menghadapi kemungkinan konflik di perbatasannya dengan milisi yang sulit ditaklukkan.
Israel tidak mempersiapkan diri untuk perang panjang. Mantan Kepala Dewan Keamanan Nasional Israel, Yaakov Amidror, mengatakan, “Kami berpikir akan melakukan serangan besar dengan angkatan udara dan manuver cepat dengan pasukan darat.” Namun, semakin lama perang berlangsung, semakin sulit mempertahankan dukungan dan kesiapan pasukan.
Secara historis, Israel berhasil dalam perang pendek, mengandalkan tentara cadangan dan keunggulan teknologi. Namun, kali ini berbeda. Milisi bersenjata yang didanai dan dilatih Iran menguasai wilayah besar di sekitar Israel. Hamas dan Hizbullah memiliki roket kuat, ribuan pejuang terlatih, dan infrastruktur penting termasuk jaringan terowongan. Milisi yang didukung Iran di Yaman, Irak, dan Suriah juga menjadi ancaman.
Israel tidak siap untuk perang panjang. Amidror menambahkan, “Semakin lama waktu berlalu, semakin sulit mempertahankan dukungan dan kesiapan pasukan.”