Oleh: Ustaz Asep Sobari, Lc (Pendiri Sirah Community Indonesia)

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah peradaban Islam adalah perang Yarmuk. Perang antara pasukan muslim dan pasukan Romawi Timur itu terjadi pada tahun 15 Hijriah. Setelah perang tersebut, pasukan muslim mendapat kemudahan menaklukkan seluruh kota-kota di negeri Syam.

Namun, dari semua penaklukan di negeri Syam, penaklukan kota Al-Quds adalah paling emosional. Kota tersebut merupakan kiblat pertama umat Islam, dan menjadi tempat isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad SAW. Kota suci tersebut dipimpin oleh seorang patrik, Pendeta Sophronius dari Yunani, saat Romawi masih berkuasa.

Amru bin Ash di bawah komando Abu Ubaidah Al-Jarrah mulai memblokade Al-Quds pada 17 Hijriah. Al-Quds terkenal dengan benteng yang sangat kokoh, sehingga membuat pasukan muslim kesulitan menembus kota tersebut dan bertahan di luar benteng. Dalam keadaan seperti ini, kekuatan bertahan sebenarnya menjadi kunci kemenangan.

Sophronius berharap pasukan muslim menyerah dan mengurungkan niat menaklukkan Al-Quds. Namun, harapannya ternyata sia-sia. Pasukan muslim bukan tipe penyerah, mereka terus bertahan dan pantang kembali ke Madinah sebelum Al-Quds jatuh ke tangah umat Islam. Hal ini membuat penduduk yang di Al-Quds berdebar-debar ketakutan  dan membuat petinggi keagamaan di Al-Quds frustasi.

Sophronius lalu memutuskan mengirim surat ke Amru bin Ash yang masih bertahan di luar benteng. Dalam surat tersebut, ia meminta Amru bi  Ash untuk menyerah dan kembali ke Madinah. Namun permintaan itu ditolak, dan Amru bin Ash tetap memilih bertahan untuk merebut kota suci tersebut.

“Sesungguhnya engkau adalah saudaraku dan setara denganku, kedudukanmu di tengah kaummu seperti kedudukanku di tengah kaumku. Tentu engkau paham, demi Allah engkau tidak akan bisa merebut sedikit pun dari kawasan Palestina setelah kemenanganmu di Ajnadin. Maka untuk itu, kembalilah.” Tulis Sophronius dalam suratnya.

Membaca surat itu, Amru bin Ash mengirim surat dengan pesan kepada kurir. Kurir tersebut adalah orang Arab, tapi dia menguasai bahasa Siriani, bahasa yang digunakan penduduk Al-Quds. Lalu, Amru bin Ash mengirim surat balasan lalu meminta kurir itu mendengar semua apa yang dibicarakan oleh Sophonius setelah membaca balasan itu.

“Jangan salah, karena akulah penakluk negeri ini.” Tulis Amru bin Ash dalam surat tersebut. Ketika Sophinius membaca balasan tersebut, dia tertawa terbahak-bahak karena menganggap Amru tidak bijak.

“Tidak mungkin Amru yang akan menaklukkan, karena yang bisa menaklukkan Baitul Maqdis adalah ‘Ain, mim, Raa’ atau Umar.” Kata Sophonius sambil tertawa.

Perkataan tersebut terdengar oleh kurir, dan langsung melaporkan kepada Amru bin Ash. “Yang mereka bicarakan bukan  Amru penakluk Baitul Maqdis, tapi Umar.”

Amru bin Ash sangat memahami hal tersebut. Terlebih lagi, Sophonius mengatakan penaluk Baitul Maqdis adalah Umar karena merujuk kepada kitab-kitab mereka. Dia langsung mengirim surat kepada Umar bin Ash di Madinah. Dia mendorong Umar agar segera datang ke Baitul Maqdis. Dia juga menjelaskan kondisi sulit yang dialami pasukan muslim saat itu.

Umar Berangkat ke Syam

Setelah berdiskusi dengan para sahabat, seperti Usman bin Affan dan Ali bin Thalib, serta beberapa sahabat terdekatnya, Umar bin Khattab berangkat dari Madinah tanpa dikawal iring-iringan militer. Apalagi, dikawal pasukan khusus yang terlatih. Umar lebih dulu menetap di Jabiah sebelum berngkat ke Al-Quds. Pada saat di Jamiah inilah, para pemimpin pasukan muslim dari Syam datang menemui beliau.

Ada sebuah riawayat yang menarik terkait pertemuan Umar dan pemimpin pasukan muslim di Jabiah. Umar hanya mengendarai keledai. Pemandangan ini sulit diterima oleh pasukan muslim yang terbiasa berhadapan dengan pasukan Romawi. Sementara kepentingan Umar adalah berhadapan dengan pembesar Romawi di Al-Quds terkait perjanjian yang akan disepakati terkait penyerahan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.

Abu Ubaidah menasihati Umar. “Wahai Amirul Mukminin, engkau akan berhadapan dengan para pembesar Romawi.”

“Ya Abu Ubaidah, Allah memuliakan kalian dengan Islam. Maka apakah engkau hendak mencari Izzah dari selain islam? Allah akan menghinakan kalian.” Jawa Umar. Dia berpendapat bahwa dirinya tidak akan terhina jika memakai keledai, karena dia menggunakan izzah Islam.

Setelah itu, Umar pun berangkat ke Al-Quds hanya ditemani satu orang pelayannya. Lantaran kendaraan hanya satu, maka keduanya bergantian. Jika giliran Umar menunggangi keledai, maka pelayan yang menuntun. Begitu pula sebaliknya. Saat hendak memasuki kota Al-Quds giliran Umar yang menuntun kuda sementara sang pelayan berada di punggungnya.

Maka saat Sophronius menyaksikan langsung kedatangan Umar, tanpa ragu ia serahkan kunci kota Al-Quds. Tanpa ragu ia tanda tangani kesepakatan dengan jaminan keamanan dan kebebasan beribadah serta tak ada orang Yahudi yang hidup di Yerussalem. Demikian kira-kira isi kesepakatan tersebut.

Perjanjian itu kemudian ditandatangi langsung oleh khalifah. Perjanjian itu dikenal dengan al-‘uhdah al’umariyah. Tertera sebagai saksi adalah nama-nama populer seperti Khalid bin Walid, Amr bin al-‘Ash dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Itulah akhlak yang dicontohkan para pimpinan umat Islam yang dipadu dengan strategi dan persatuan yang sangat kuat.

Sumber: Youtube AQL Network Baitul Maqdis

Editor: Moe

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here