Spirit of Aqsa- Pakar militer, Brigadir Jenderal Muhammad Asmadi, menyatakan, tewasnya lima tentara Israel dalam dua insiden terpisah di Gaza menunjukkan kemampuan perlawanan dalam memanfaatkan reruntuhan bangunan untuk melakukan segapan terhadap tentara pendudukan.
Asmadi menambahkan bahwa Israel menerapkan sensor ketat dan membatasi informasi terkait kerugian sebenarnya yang diderita di Gaza. Itu mengindikasikan bahwa jumlah tentara tewas dan terluka jauh lebih besar dari yang diumumkan. Menurutnya, moral pasukan Israel menurun drastis karena mereka mulai merasakan sia-sianya peperangan ini.
Sebagai bukti, Asmadi mengutip keputusan Israel untuk mempersingkat masa tugas militer tentaranya. Langkah ini diambil untuk mengurangi angka penolakan dan kemungkinan ketidakhadiran total dalam dinas militer akibat kelelahan dan “kelelahan perang.”
Asmadi juga menekankan bahwa pejuang perlawanan tidak memerlukan pasukan besar untuk menjalankan operasi, sedangkan militer Israel harus mengerahkan seluruh batalion dan brigade untuk melanjutkan perang ini.
Ia menyoroti bahwa rendahnya minat tentara Israel untuk bertempur di tengah “fase kritis” ini mencerminkan hilangnya keyakinan pada kepemimpinan politik dan ketidakbermaknaan perang. Menurutnya, Oktober lalu adalah bulan yang paling mematikan bagi pasukan Israel.
Pengurangan Masa Dinas
Militer Israel memutuskan untuk mengurangi masa tugas pasukan cadangan dari rata-rata 20 minggu per tentara menjadi hanya 9 minggu, setelah terjadi penurunan besar dalam jumlah pendaftar baru, menurut laporan media Israel.
Media Israel juga melaporkan penurunan signifikan dalam partisipasi tentara cadangan akibat kebijakan pemerintah yang mengizinkan pengecualian bagi penganut Haredi Yahudi ultra-ortodoks dari wajib militer, serta akibat kelelahan pasukan.
Surat kabar Yedioth Ahronoth mengungkapkan kekhawatiran militer terhadap penurunan 15% hingga 25% dalam jumlah pasukan cadangan, yang tercermin dalam operasi di brigade tempur di Gaza dan di perbatasan utara selama perang dengan Lebanon.