Pakar urusan permukiman, Khalil al-Tafakji, memperingatkan bahwa Israel tengah menekan Otoritas Palestina secara politik dan ekonomi agar mundur dari upaya memperoleh pengakuan negara Palestina. Menurutnya, strategi Israel kini semakin jelas: mengubah seluruh wilayah Palestina di Tepi Barat yang diduduki menjadi penjara terbuka di bawah kendalinya.
Komentar ini muncul menanggapi pernyataan kontroversial Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich, yang baru-baru ini mengancam akan “melenyapkan” Otoritas Palestina jika berani menentang Israel. Smotrich juga menegaskan bahwa “Israel tidak akan pernah mengizinkan berdirinya negara Palestina, apa pun tantangannya,” serta menyebut rencana aneksasi Tepi Barat sebagai langkah “realistis” untuk menghadapi tekanan politik internasional.
Al-Tafakji menilai, ancaman semacam ini bukanlah hal baru. Israel sudah terbiasa melontarkan intimidasi, seperti yang pernah terjadi saat membangun tembok pemisah apartheid dan menolak laporan PBB terkait agresi brutal di Gaza.
Ia menjelaskan, Israel berbicara tentang “penguasaan 82% tanah di Tepi Barat” seolah lahan itu kosong. Padahal, kawasan pemukiman Palestina hanya mencakup 6% wilayah, yang berarti Israel ingin mengurung seluruh komunitas Palestina di dalam kantong-kantong kecil mirip penjara, dikelilingi kendali militer dan politik Israel.
Lebih jauh, Israel juga menghidupkan kembali gagasan lama: menciptakan “emirat-emirat lokal” di kota-kota Palestina yang tunduk pada Israel, namun bermusuhan dengan kota Palestina lainnya. Rencana ini, kata al-Tafakji, sudah mulai diwujudkan di Hebron dengan upaya membentuk entitas yang loyal kepada Israel.
Langkah Israel semakin terang setelah Knesset pada 23 Juli lalu menyetujui rancangan undang-undang untuk menerapkan “kedaulatan Israel” penuh atas Tepi Barat, termasuk Lembah Yordan. Dari 120 anggota parlemen, 71 mendukung hanya 13 yang menolak. Keputusan ini menuai kecaman keras dari Otoritas Palestina dan Hamas, yang menilainya batal demi hukum dan menghancurkan setiap peluang menuju perdamaian dan solusi dua negara.
Peringatan ini datang di tengah momentum penting: semakin banyak negara Eropa dan Barat—termasuk Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia—menyatakan niat untuk mengakui negara Palestina dalam Sidang Majelis Umum PBB pada September ini.
Israel mungkin berharap menutup rapat jalan menuju kebebasan Palestina. Namun, justru langkah-langkah ekstremnya semakin menyingkap wajah asli pendudukan: menjadikan tanah Palestina sebagai penjara raksasa, sementara rakyatnya terus berjuang agar dunia tidak melupakan hak mereka untuk merdeka.