Ketika Brigade Al-Qassam melancarkan operasi jebakan maut di Beit Hanoun, Gaza utara, dentuman ledakan itu seolah mengguncang meja perundingan di Doha, yang mempertemukan delegasi Hamas dan Israel dengan mediasi Qatar dan Mesir.
Di saat yang sama, PM Israel Benjamin Netanyahu (yang kini diburu Mahkamah Pidana Internasional atas kejahatan perang di Gaza) tengah membahas proposal gencatan senjata dengan utusan AS, Steven Weitkoff, di Gedung Putih. Namun pertemuan itu langsung terguncang oleh laporan mendadak: puluhan tentaranya tewas dan terluka akibat serangan mendadak yang disusun Hamas dengan sangat terencana.
Pada Senin malam hingga Selasa dini hari, Al-Qassam berhasil meledakkan rangkaian bom terhadap konvoi tank dan kendaraan militer Israel di Beit Hanoun. Israel mengakui 5 tentaranya tewas dan 14 lainnya luka-luka, dua di antaranya dalam kondisi kritis.
Negosiasi di Bawah Hujan Peluru
Menurut analis militer dan keamanan, Rami Abu Zubaydah, operasi Beit Hanoun mengirim pesan tegas: “Kami bernegosiasi sambil tetap memegang senjata.”
Abu Zubaydah menjelaskan, operasi ini menunjukkan beberapa poin penting:
- Kekuatan lapangan tetap di tangan perlawanan. Meski 21 bulan agresi, Israel gagal menaklukkan Gaza sepenuhnya.
- Narasi superioritas Israel runtuh. Hamas masih mampu menyerang dengan jebakan bom, RPG, dan taktik gerilya.
- Posisi tawar meningkat. Hamas tak lagi bernegosiasi dari posisi lemah, melainkan justru memegang kendali.
- Dukungan rakyat semakin menguat. Setiap operasi sukses mempererat dukungan masyarakat dan menolak kompromi paksa.
Abu Ubaidah, juru bicara Al-Qassam, menyebut Operasi Beit Hanoun sebagai pukulan telak terhadap “kehormatan semu” pasukan Israel, di medan yang mereka kira sudah aman total.
Analis politik Eyad Al-Qara juga menilai, operasi ini serta rangkaian serangan di Khan Younis memaksa militer Israel mendesak pimpinan politik agar segera menyepakati gencatan senjata.
Al-Qara menyebut, pimpinan militer Israel sendiri mengakui tak mungkin menguasai Gaza lama-lama, apalagi di wilayah hancur yang dikosongkan penduduk. Serangan mendadak justru menyingkap kebohongan klaim Israel soal kontrol 70% wilayah Gaza.
Militer Terjepit, Netanyahu Tertekan
Menurut Al-Qara, keberhasilan perlawanan di lapangan juga memberi alasan bagi militer untuk menghindar dari desakan politisi yang ingin memperpanjang pendudukan. Serangan ini mendorong kemungkinan Israel akan mundur ke posisi lama sebelum Maret 2024.
Ia menilai operasi semacam ini mempercepat opsi penghentian perang total, apalagi jika Hamas berhasil menangkap lebih banyak tentara Israel — skenario yang dianggap mimpi buruk bagi Tel Aviv dan akan menjadi kartu tawar besar dalam negosiasi.
Abu Ubaidah bahkan menegaskan, “Pertempuran penggerogotan yang kami jalankan dari utara hingga selatan akan menambah kerugian harian Israel. Jika kemarin mereka berhasil lolos dari neraka, besok bisa saja mereka jatuh ke tangan kami sebagai tawanan.”
Di Israel sendiri, seruan untuk menarik mundur pasukan dari Gaza semakin kencang. Para politisi, baik dari kubu kanan maupun oposisi, menuduh Netanyahu “mengirim pasukan ke kematian sia-sia” demi ilusi kemenangan yang tak kunjung datang.
Sejak Maret 2024, 38 tentara Israel tewas di Gaza, termasuk 27 akibat ledakan bom dan 6 lainnya tertimbun bangunan yang dihancurkan.
Sumber: Al Jazeera