Laporan New York Times menyoroti shock mendalam, perpecahan, dan isolasi internasional yang dialami Israel dua tahun genosida di Gaza, sekaligus menggambarkan kehancuran dan keputusasaan yang menyelimuti Gaza. Penulis Roger Cohen, jurnalis veteran Timur Tengah, dan Saher Alghara, yang meliput perang Gaza sejak awal, menyebut Israel sebagai bangsa yang dilanda ketakutan dan perpecahan.
Dua tahun setelah serangan Hamas yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menawan lainnya, Israel menghadapi luka mendalam dan konflik internal. Di kibbutz Nir Oz, 117 dari 384 penduduknya tewas, diculik, atau hilang, menjadi simbol trauma yang membekukan. Muncul perdebatan apakah rumah-rumah yang hangus harus dihancurkan agar komunitas bisa “melangkah maju” atau dipertahankan sebagai monumen.
Perang ini mengguncang citra diri Israel; operasi militer di Gaza menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan merusak infrastruktur sedemikian parah sehingga banyak negara menuduh Israel melakukan genosida. Kejadian ini turut memicu meningkatnya antisemitisme, terlihat dari serangan terhadap sinagoga di Manchester, Inggris.
Israel juga mengalami kelelahan psikologis dan fisik, terutama di antara 295.000 tentara cadangan yang dipanggil berulang kali. Pada 2024, 83.000 warga Israel pindah ke luar negeri, meningkat 50% dibanding tahun sebelumnya, dan tujuh anggota militer bunuh diri hanya dalam dua bulan. Rasa tanggung jawab kolektif yang menjadi inti masyarakat Israel “hancur total,” menurut sejarawan Gershom Gorenberg.
Krisis Politik dan Tahanan
Penderitaan warga Israel yang ditahan, beberapa lebih dari 725 hari, menjadi inti trauma nasional. Mantan Menteri Pertahanan Moshe Ya’alon menyatakan, “Kami tersesat… Apakah ini nilai-nilai Israel?” Kritik diarahkan ke Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang dianggap menempatkan kepentingan politik pribadi di atas prinsip nasional “tidak meninggalkan seorang tentara pun.” Sebaliknya, mantan Duta Besar Israel untuk AS, Michael Oren, membela Netanyahu: ia memandang 7 Oktober sebagai panggilan sejarah yang menuntut tanggung jawab.
Perang memperdalam perpecahan internal antara dua kelompok:
- Kelompok Religius dan Pemukim – Melihat peristiwa 7 Oktober sebagai “momen mukjizat” yang memaksa bangsa Yahudi melangkah menuju keselamatan, dan menekankan kontrol Israel atas seluruh “Tanah Israel.”
- Israel Sekuler-Liberal – Menekankan demokrasi, hak sosial-politik yang setara bagi semua warga Israel tanpa memandang agama, ras, atau jenis kelamin. Kritik diarahkan pada Netanyahu karena dianggap meninggalkan nilai kemanusiaan dan etika perang.
Beberapa pejabat ekstremis menyuarakan retorika genosida, misalnya Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir menyerukan “pemindahan satu juta orang secara sukarela,” dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich menyerukan “pemusnahan total” Gaza.
Sementara itu, kehidupan warga Palestina semakin tertekan: kamera pengawas di mana-mana, ratusan gerbang otomatis mengurung penduduk Palestina, dan warga Gaza menyebut perang ini sebagai “nakba baru,” mengacu pada pengusiran 750.000 orang pada 1948. Pemukiman Israel terus meluas di Tepi Barat, menghancurkan ladang dan pohon zaitun Palestina.
Di Gaza, para pengungsi menggambarkan kehidupan mereka sebagai “gila” dan kota mereka sebagai “kuburan,” dengan lebih dari 66.000 tewas, ratusan ribu terluka, dan program bantuan internasional yang dianggap gagal menjamin martabat manusia. Solusi dua negara semakin terlihat mustahil, menurut mantan Menteri Luar Negeri Shlomo Ben-Ami.
Isolasi dan Kemarahan Internasional
Empati global terhadap Israel menurun pasca pembantaian Gaza, memperdalam isolasinya. Michael Oren menilai era pasca-Holocaust berakhir, sementara sejarawan Gershom Gorenberg menolak tuduhan genosida sebagai “dipengaruhi kebencian terhadap Yahudi.”
Perang panjang ini telah membentuk generasi muda Israel menjadi “generasi yang ditempa dalam kekerasan tanpa banyak batas,” sementara warga Palestina kehilangan harapan nasional mereka meski mendengar kata-kata dukungan dari dunia.
Penulis menutup dengan kutipan mantan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin di Taman Putih 32 tahun lalu: “Cukup darah dan air mata. Cukup,” namun abad ini tetap haus darah, mencerminkan trauma yang terus membekas bagi kedua belah pihak.
Sumber: New York Times