Program satir politik “Fawq al-Sulta” dalam episode terbarunya (5 September 2025) menyoroti sosok Abu Ubaida, juru bicara Brigade al-Qassam—sayap militer Hamas—yang diklaim Israel gugur dalam serangan udara di Gaza akhir bulan lalu.

Pembawa acara, Nazih al-Ahdeb, menyebut Abu Ubaida sebagai “wajah paling terkenal di dunia yang justru tak pernah dikenal wajahnya.” Ia heran, mengapa Israel begitu takut pada “suara yang lembut namun mampu menggetarkan.”

Sebaliknya, lanjut al-Ahdeb, absennya Avichay Adraee—juru bicara tentara pendudukan Israel—tak pernah meninggalkan kesan, apalagi teka-teki atau gelombang tanya.

Israel mengumumkan telah membunuh juru bicara al-Qassam yang disebut bernama Hudhayfah al-Kahlut. Namun hingga kini, Hamas belum membenarkan maupun membantah kabar tersebut.

Dalam episode itu, ditayangkan pula pesan dari jurnalis Gaza, Mahmoud Zakki al-Amoudi. Ia menyampaikan kata-kata yang menggugah hati—ditujukan bagi mereka yang berduka sekaligus yang bersorak gembira.

> “Jika benar Abu Ubaida syahid, maka itulah akhir seorang pahlawan, cita-cita para lelaki sejati, dan anugerah terindah dari Allah bagi hamba-Nya yang setia. Itu adalah pilihan, sebuah kemuliaan,” ujarnya.

Ia juga mengecam pihak-pihak munafik yang selama dua tahun menuduh Abu Ubaida bersembunyi di istana Turki, namun kini justru menertawakan kabar gugurnya di Gaza. “Mereka telah membongkar kebohongan mereka sendiri,” tegas al-Amoudi.

Sementara itu, presenter televisi Mesir, Ahmad Musa, ikut menyalakan gelombang ejekan dengan meremehkan kabar syahidnya Abu Ubaida sekaligus menghina pakar militer, Mayjen Fayez al-Duwairi. Cuitan Musa itu bahkan ditanggapi Avichay Adraee dengan kalimat penuh kebencian: “Ke neraka, seburuk-buruknya tempat kembali.”

Bagi para pendukung perlawanan, Abu Ubaida bukan sekadar juru bicara. Ia adalah ikon perlawanan, pengendali narasi, dan simbol yang menjelma legenda. Namanya mulai bergema sejak Juni 2006 ketika ia mengumumkan operasi “Al-Wahm al-Mutabadid” di Rafah, yang berujung pada penangkapan tentara Israel, Gilad Shalit.

Ia selalu tampil dengan wajah tertutup kefiyyeh merah, dikenal hanya dengan nama samaran, tanpa pernah memiliki akun pribadi di media sosial. Namun rilisnya di kanal Telegram resmi diikuti ratusan ribu orang di seluruh dunia. Dua dekade terakhir, ia mengelola perang psikologis dengan Israel, mengubah suara lantang dari balik topeng menjadi senjata yang tak kalah mematikan dari roket dan peluru.

Selain Abu Ubaida, episode “Fawq al-Sulta” juga menyinggung sejumlah isu penting lain, di antaranya:

Sana’a mengancam Tel Aviv dengan balasan atas kematian pejabatnya.

Utusan AS, Buraq: “Bagi Israel, batas negara Arab tidak berarti apa-apa.”

Hemetti bersumpah membelah Sudan secara sepihak.

Kecelakaan kereta baru di Matrouh Mesir, sementara sang menteri menolak mundur.

Haftar membagi kekuasaan di Libya untuk enam putranya.

Di Tunisia, muncul perdebatan: benarkah sakit dilarang bagi lansia?

Trump menepis isu kematian: “Aku masih ada, umur para peramal justru singkat.”

Alasan tak terduga di balik pendaratan darurat pesawat sipil AS.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here