Spirit of Aqsa – Suatu hari pada September 1926, seorang jurnalis muda yahudi, Leopold Weiss, naik kereta ke Berlin. Sepanjang perjalanan, dia menyaksikan wajah-wajah yang tidak bahagia dan hampa. Kebudayaan tinggi Eropa, kemajuan ilmu pengetahuan, dan materi tak cukup untuk memberikan kebahagiaan kepada mereka.
Weiss lalu berkesimpulan, keselamatan dan kebahagiaan berada di tempat lain. Keyakinan itulah yang membawa Weiss menjadi seorang muallaf. Ia resmi masuk Islam beberapa hari setelah perjalanan ke Berlin.
Pria yang lahir pada 1900 dari orang tua yahudi itu merupakan keturunan rabi. Nenek moyangnya merupakan pemuka agama kerabian. Saat meninggal, hampir satu abad kemudian, dia menjadi seorang intelektual terkenal di seluruh dunia muslim sebagai Muhammad Asad.
Dia menulis memoar yang sangat terkenal, The Road to Mecca. Memoar itu memperkenalkan Islam kepada banyak orang. Terjemahan Al-Qur’an milik Asad dalam Bahasa Inggris disandingkan dengan terjemahan Marmuduke Pickthall dan Abdullah Yusuf Ali.
“Mungkin tidak ada buku lain kecuali Al-Qur’an itu sendiri yang menyebabkan lebih banyak orang masuk Islam,” tulis seorang diplomat Jerman yang juga muallaf, Murad Mofmann, dikutip TRT World, Kamis (16/12/2021).
Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan, menyebut Asad sebagai motivasi yang membawanya ke jalur religius. Ada pula Margaret Marcus, seorang wanita yahudi yang meninggalkan kehidupan New York untuk tinggal di Lahore, setelah membaca The Road to Mecca. Dia mengadopsi nama Maryam Jameelah dan menjadi cendekiawan muslim yang terkenal.
Cerita perjalanan spiritual Asad dimulai saat Perang Dunia I di Eropa. Dia dibesaran di Lwow, sebuah kota yang pada awal abad ke-20 merupakan bagian dari Austria. Ayahnya merupakan seorang pengacara kaya raya.
Meski sang ayah bukan kalangan religus, namun Asad memiliki guru privat yang mengajari membaca kitab yahudi. Hingga pada akhirnya dia percaya dri mendiskusikan eksegesis Alkitab, kumpulan komentar religius yang kompleks. Setelah masuk Islam, pengalaman itu membantu pemahamannya tentang Al-Qur’an.
“Jadi, pada usia 13 tahun, saya tidak hanya bisa membaca Bahasa Ibrani, tetapi juga berbicara dengan sangat lancar. Sebagai tambahan, saya cukup mengenal Aramiac,” tulis Asad di bukunya.
Agama menjadi hal terakhir di benak Asad saat masuk ke Universitas Wina pada 1920 untuk belajar seni. Ia menghabiskan hari-harinya mempelajari filosofi, sementara malam berada di klub. Dia cepat berbaur dengan berbagai lingkaran sastra, yang berkumpul di kafe-kafe Wina guna membahas penemuan Sigmund Freud di bidang psikoanalisis.
Seperti anak muda lainnya, Asad berusaha mencari jawaban setelah Perang Dunia I yang melanda Eropa antara tahun 1914 dan 1918.
“Eropa berada dalam krisis moral. Peradaban barat hampir menghancurkan dirinya sendiri selama perang. Seluruh generasi muda dimusnahkan. Tetapi itu juga merupakan periode yang dinamis. Orang tidak dibatasi oleh dogma lama dan mereka mencari sumber spiritual baru,” kata sejarawan Israel yang menulis tentang Asad, Martin Kramer.
Ini merupakan salah satu cara untuk memahami Asad. Dia tidak muncul dari tatanan politik dan budaya yang mudah berpuas diri. Dia muncul dari sebuah ordo, yang baru saja mengalami keruntuhan total. Gelisah dan tidak bisa fokus, Asad keluar dari universitas untuk mengejar karir sebagai jurnalis. Sang ayah menentang keputusan itu dan memotong uang bulanan sebagai hukuman.
Sendiri, Asad melakukan perjalanan ke Berlin, di mana dia bermain-main dengan dunia seni untuk sementara waktu. Ia menulis naskah film dan menghabiskan apa pun yang dia punya untuk pesta sepanjang malam. Namun, di sebagian besar waktunya, dia tetap kekuarangan uang.
Dia sempat bekerja untuk sebuah kantor berita dan mencetak berita hangat ketika dia mewawancarai Madame Gorky, istri dari penulis terkenal Rusia, Maxom Gorky. Tapi, Asad tidak pernah benar-benar menetap.
Eropa seolah tidak lagi menjadi rumahnya. Sesuatu yang lain menaggilnya, yaitu panggilan ke Islam, di mana jalan itu akan melewati Al-Quds.
“Asad jatuh cinta pada orang Arab, sebelum dia jatuh cinta pada Islam,” kata seorang professor agama di Duke University, Shalom Goldman. Ia sedang menulis sebuah buku tentang promiment Yahudi yang masuk Islam.
Islam adalah cara menjadi orang Arab. Itu sebabnya, alih-alih bersekolah di sekolah agama, Asad tinggal bersama suku Badui selama 6 tahun di Arab Saudi. Baginya, itulah budaya otentik yang sesungguhnya.
Dia pertama kali menjumpai dunia Islam pada 1922, ketika melakukan perjalanan ke Palestina atas undangan pamannya, Dorian, seorang psikiater dan salah satu murid Freud. Waktu itu adalah masa pergolakan politik dan perselisihan di Palestina.
Zionis sedang berupaya melobi untuk sebuah bangsa bernama yahudi, yang terkadang menggunakan kekerasan. Puluhan ribu orang yahudi berimigrasi ke Palestina dari Rusia dan tempat lain, berupaya mengubah demografi Palestina.
Bagi Asad, tampak jelas jika orang Badui Arab Muslim setempat lekat dengan kejujuran, kesederhanaan, dan unta. Mereka lebih mirip dengan karakter Ibrani yang dia pelajari sebagai anak laki-laki dalam Perjanjian Lama, daripada seorang Yahudi Eropa modern.
Dalam beberapa kesempatan, Asad berkonfrontasi dengan para pemimpin zionis seperti Dr Chaim Weizmann. Ia mendorong mereka untuk menjelaskan bagaimana orang yahudi dapat mengklaim memiliki lebih banyak hak daripada orang Arab Palestina, yang tinggal di wilayah tersebut selama dua ribu tahun.
“Antizionisme Asad mengakar kuat. Itu bukanlah sesuatu yang dia adopsi semata agar lebih diterima oleh muslim,” kata Kramer.
Salah satu teman terdekat Asad di Palestina, Jacob de Haan, yang berprofesi sebagai jurnalis Yahudi Belanda dibunuh eksremis zionis. Ia dibunuh karena menjadi penentang gigih terhadap cara zionis memperlakukan umat Islam dan kelompok Arab di Palestina.
Bertahun-tahun kemudian, ketika Israel mencoba mengklaim seluruh Al-Quds, Asad terus membela hak-hak orang Palestina. Dalam artikel The Vision of Jerussalem yang terbit pada 1982, Asad menulis Zionis ingin menjadikan Al-Quds sebagai ibu kota Israel. Namun, ia menekankan keabadian adalah atribut yang hanya dimiliki Tuhan.
Dia lantas berbicara dan menulis tentang bagaimana Islam memandang Al-Quds sebagai ‘kota suci’ untuk semua agama. Daerah itu bukan real-estate yang diberikan sebagai warisan kepada orang-orang yahudi saja.
“Asad mungkin adalah orang pertama yagn mengartikulasikan ide kolonialisme zionis sebelum para pemikir Marxis menjadikannya popular di taun 1960-an dan 70-an,” kata Goldman.
Selama tinggal di Palestina dan perjalanan ke Yordania, Mesir, maupun wilayah muslim lainnya pada tahun-tahun berikutnya, Asad memperlihatkan ketertarikan pada orang Arab dan cara hidup mereka.
Kisah hidupnya diterbitkan di Frankfurter Zeitung, salah satu jurnal Jerman yang paling dihormati. Dalam kisah itu, dituliskan tentang orang Arab sebagai orang-orang yang ‘diberkati’. Mereka menjalani kehidupan yang sangat sederhana, yang secara garis lurus mengarah dari lahir sampai mati. Artikel-artikelnya kemudian disusun sebagai buku pertamanya, The Unromantic Orient.
Bertahun-tahun kemudian, ketika diminta untuk berbicara tentang terjemahan Al-Qur’annya, Asad malah mendedikasikan sebagian besar pidatonya tentang mengapa ia berfikir Tuhan memilih untuk mengirim utusan terakhir-Nya di tanah Arab.
Kehidupan yang sulit di gurun membuat orang Badui menyadari betapa tidak pentingnya dirinya sendiri. Seorang Badui menghargai jika di luar banyaknya dewa suku Arab, harus ada satu Yang Tertinggi yang menopang kehidupan.
Setelah pengalamannya di Palestina, dia melakukan perjalanan lebih jauh ke semenanjung Arab, tempat yang sekarang menjadi Arab Saudi. Ia menghabiskan hidup dalam kehidupan guru dan menjadi orang Arab, sebagaimana terbukti dari penguasaanya atas Bahasa Arab.
Selama enam tahun, ia hidup di atara suku-suku Badui di Arab Saudi. Ia berusaha menunggang unta, mengenakan pakaian khas, serta mempelajari dialek mereka. Arab Saudi di tengah-tengah pemberontakan ketika Asad, yang baru mualaf, tiba di sana pada 1927. Ia ingin melakukan ibadah haji, ziarah ke Makkah.
Pendiri Arab Saudi modern, Ibn Saud, kala itu sedang berjuang untuk mengontrol suku-suku pemberontak yang tersebar di sekitar gurun. Pada saat yang sama, Saud tidak mempercayai Inggris yang menggunakan kekuatan militer mereka sebagai pengaruh atas para pemimpin Arab.
“Tentu saja karya jurnalistik Asad dan hubungannya dengan pers internasional membentuk komponen penting dalam hubungannya dengan Raaja,” kata seorang peneliti Jerman yang menulis buku tentang masa Asad di Arab Saudi, Gunther Windhager.
Asad terus menulis untuk surat kabar Eropa. Beberapa ceritanya diterjemahkan dan dicetak ulang dalam Bahasa Belanda di Indonesia, yang kemudian disebut Hindia Belanda. Hal ini memberikan pengaruh yang cukup besar bagi jurnalis tersebut di istana raja.
Tulisan-tulisan yang ia buat dilengkapi dengan pengetahuan orang dalam secara langsung dan pena yang kritis terhadap imperialisme. Dia mengungkap kebijakan Inggris di Timur Tengah, dengan harga barang yang beredar berada di bawah pengawasan di setiap kesempatan.
Dengan restu raja, Asad melakukan perjalanan jauh ke tanah Arab pada saat sebagian besar nonmuslim dilarang keluar dari kota pelabuhan Jeddah. Bagaimana Asad bisa mendapatkan ke istana Ibnu Saud begitu cepat setelah kedatangannya telah menjadi perdebatan yang cukup sengit.
Tetapi, Arab Saudi masih satu dekade lagi untuk mencapai sumur minyak pertamanya, yang menghasilkan miliaran petrodollar di tahun-tahun berikutnya. Tembok tinggi dan protokol tidak didirikan di sekitar istana.
Sementara itu, Asad menulis bahwa ini adalah masalah kebetulan dan keputusasaan. Sebelum menunaikan haji pertama, ia telah menikah dengan Elsa, seorang pelukis yang berusia 15 tahun lebih tua darinya dan yang sangat ia cintai. Mereka pergi ke Makkah bersama-sama.
Sang istri menderita beberapa penyakit tropis dan meninggal sembilan hari setelah haji. Pengalaman itu membuat Asad hancur. Entah bagaimana, raja mengetahui hal itu dan mengundangnya untuk rapat. Sejak saat itu, keduanya menjadi sangat dekat.
Dia akhirnya menjadi semacam penasihat raja, bahkan pernah melakukan perjalanan berbahaya melintasi gurun bersama Kuwait, untuk mencari tahu siapa yang memasok senjata dan amunisi kepada para pemberontak yang melawan pemerintahan Saud.
Ketika Asad masuk Islam, pada saat itu pula dia mulai mengeksplorasi aspek-aspek kompleks dari agama, seperti yurisdrudensi Islam dan perannya dalam politik. Umumnya, siswa muslim menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari teks-teks Islam di bawah asuhan ulama berpengalaman di beberapa sekolah.
Dalam kasus Asad, masih belum jelas dengan siapa dia berkonsultasi untuk mendapatkan panduan. Para pengkritiknya sering menggunakan ini untuk melawannya. “Kami benar-benar tidak tahu apa-apa tentang hubungannya dengan lingkungan keagamaan selama dia tinggal di sana,” kata pendiri Pusat Ilmu Pengetahuan Islam di Kanada, Dr. Muzaffar Iqbal.
Bagaimanapun, Asad telah mulai bertemu dengan para intelektual muslim yang mengunjungi kota-kota Islam paling suci dari India dan Indonesia. Sang putra, Talal Asad, merupakan seorang cendekiawan Islam terkemuka. Ia juga tidak tahu tentang ulama yang berhubungan dengan ayahnya pada tahun-tahun itu.
“Dia mempelajari hadits secara singkat dengan seorang ulama di Madinah. Ketika saya masih sangat muda, ia memberi tahu saya jika ulama ini adalah ‘alim terpelajar dari Tumbucktoo’ (sic),” kata Talal.
Talal yang kini berusia 88 tahun adalah putra satu-satunya Asad. Ia lahir di Arab Saudi dari pernikahan ketiga Asad dengan Munira, seorang gadis dari suku Shammar. Setahun setelah kematian Elsa, Asad menikah sebentar dengan wanita lain dari Riyadh, kemudian bercerai.
“Perniakahan dalam Islam bukanlah sakramen tetapi kontrak sipil, jalan untuk perceraian selalu terbuka untuk salah satu pasangan nikah,” tulis Asad dalam memoarnya.
Dia menyebut stigma yang melekat pada perceraian tidak ada dalam masyarakat muslim, kecuali muslim di Pakistan dan India yang telah dipengaruhi oleh agama Hindu.
Setelah enam tahun di Arab Saudi, Asad ingin menetap di sana. Dia juga menghubungi beberapa penerbit untuk buku yang ingin dia tulis tentang suku-suku Arab. Meski demikian, ia tidak bisa mengganti namanya di paspor Austria miliknya dari Weiss ke Asad. Hal itu terus menghalangi rencananya.
Rintangan lain adalah Harry john Philby, seorang penjual pengaruh Inggris yang masuk Islam pada 1930. Ia memiliki ambisi untuk melakukan ekspedisinya sendiri di tanah Arab seperti Asad.
Pada 2011, Riyadh mengatur konferensi internasional untuk menghormati Asad. Masa tinggal di Asad di Makkah dan Madinah memiliki pengaruh yang dalam pada pemahamannya tentang Islam.
Saat itu, ia mulai menganggap mazhab ahli-hadits membutuhkan interpretasi baru dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah. Itu adalah periode dan ruang di mana transformasi dari Weiss ke Asad terjadi secara luas, serta hubungannya semakin bergeser ke jaringan Eropa ke Islam.
Buku keduanya, Islam at the Cross Roads, diterbitkan dua tahun kemudian. Seorang sejarawan di Universitas Punjab di Lahore, Muhammad Arshad, menyebut munculnya buku ini membuat riak gelombang di masyarakat.
“Sungguh luar biasa melihat seorang warga Eropa mengkritik masyarakat barat, membela Islam dan Sunnah dan mengatakan bahwa hanya Islam yang dapat membimbing dunia keluar dari kegelapan,” kata dia.
Hingga buku itu terbit, hampir tidak ada orang yang mencoba mengkontekstualisasikan ketidaksukaan abadi Eropa terhadap Islam. Ini adalah tulisan orang Eropa kulit putih dalam Bahasa Inggris, yang menyebut muslim tidak boleh terpesona oleh kemajuan materi barat.
Hadirnya buku itu bersamaan dengan masa ketika sebagian besar muslim dunia masih hidup di bawah semacam pemerintahan kolonial. Asad menyebut tidak perlu berkecil hati dengan kemelaratan, karena perlu seribu tahun bagi khilafah untuk runtuh, sedangkan kekaisaran Romawi lenyap dalam serratus tahun.
“Jika kita mengikuti prinsip Islam yang mewajibkan untuk belajar dan pengetahuan pada setiap pria dan wanita muslim, kita tidak harus melihat ke Barat hari ini untuk memperoleh ilmu pengetahuan modern,” tulis Asad.
Asad mendapat pengagum di antara tokoh-tokoh muslim terkemuka, seperti penyair dan filsuf Allama Iqbal, ulama Abul Ala Maududi dan Sayyid Qutb. Dalam bukunya yang terkenal, The Social Justice in Islam, ia menyebut satu bab sebagai At the Crossroads.
Pada pertengahan 1930-an, Asad secara aktif mengambil bagian dalam berbagai proyek yang bertujuan meningkatkan cara pendidikan agama. Ia juga berupaya menemukan cara untuk memperkenalkan mata pelajaran sains bersamaan dengan topik klasik di lembaga-lembaga Islam.
Sekitar waktu itu, ia mengambil tugas monumental menerjemahkan Sahih Bukhari, kumpulan hadits Nabi Muhammad SAW. Ini adalah pekerjaan yang sulit, yang melibatkan kegiatan membaca dengan cermat dan memilah-milah ribuan catatan sejarah.
“Pada saat itu, belum ada yang mencoba menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris. Itu adalah usaha yang sangat besar,” kata Arshad.
Namun malang, dia tidak dapat menyelesaikan terjemahan itu. Banyak manuskripkan hilang selama pemisahan India Pakistan pada 1947. (Langit7.id)