Spirit of Aqsa, Jalur Gaza- Para orang tua di Gaza menggambarkan pertemuan yang penuh air mata ketika akhirnya bisa melihat kembali bayi prematur mereka. Para bayi-abyi itu dikhawatirkan sudah meninggal setelah terpisah selama berbulan-bulan karena perang.
“Saya menangis karena senang dan bahagia. Saya tak percaya dia masih hidup,” ujar Nour al-Banna, warga Jalur Gaza (31 tahun), dikutip BBC, Ahad (26/11).
Nour berlinang air mata ketika melihat dua bayi perempuannya yang lahir prematur untuk pertama kali, setelah terpisah berbulan-bulan. Nour tak pernah menyangka reuni ini akan terjadi.
“Saya tak mengetahui apa-apa tentang mereka sejak Gaza digempur. Saya sudah kehilangan harapan mereka masih hidup. Ini keajaiban.”
Jauh sebelum perang berkecamuk, Nour mengandung anak kembar tiga. Karena komplikasi, dia harus menjalani operasi caesar darurat di Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza utara pada 19 September lalu, saat usia kandungannya baru tujuh bulan.
Dia akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki dan dua perempuan. Nour lantas pulang ke rumahnya. Namun, empat hari kemudian, anak laki-laki yang ia lahirkan meninggal dunia.
“Dua anak perempuan saya, Leen dan Layan, memakai ventilator di unit neo-natal di Al-Shifa. Saya sangat depresi setelah kehilangan anak laki-laki saya, dan saya tak bisa menengok anak-anak perempuan saya,” ucap Nour melalui telepon.
“Kemudian perang dimulai, dan pasukan Israel memasuki Al-Shifa dan muncul berita bayi-bayi prematur meninggal dunia.”
Lantaran kekacauan perang dan masalah koneksi telekomunikasi di Gaza, Nour tak tahu nasib kedua anak perempuannya.
Pada 19 November, 31 bayi prematur dievakuasi dari Rumah Sakit Al-Shifa ke Rumah Sakit Al Hilal Emirates di Rafah, Gaza. Mereka terpaksa dikeluarkan dari inkubator karena kekurangan pasokan listrik dan bahan bakar di rumah sakit.
Sehari kemudian, 28 bayi, termasuk Leen dan Layan, dipindahkan ke Mesir untuk perawatan. Beberapa di antara mereka diurus perawat, sementara yang lainnya dibawa bersama ibunya.
Nour merupakan salah satu dari lima ibu yang bertolak ke Mesir untuk mengantar bayi prematurnya menjalani perawatan. Dia mengatakan, sejumlah bayi dibawa ke rumah sakit Al Arish. Namun, ia dan ibu lainnya dibawa ke rumah sakit New Capital di Kairo.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan di Gaza mengunggah sebuah daftar berisi data 31 bayi prematur yang dievakuasi dari Al-Shifa di Facebook. Kemenkes Gaza meminta orang tua para bayi itu datang ke Rumah Sakit Al Hilal Emirates untuk mengidentifikasi mereka.
Nour mengaku dapat mengetahui keberadaan bayi-bayinya berkat bantuan kakak iparnya yang berprofesi sebagai dokter.
“Kakak ipar saya berkata kepada saya, ‘Anak-anakmu ada di daftar nomor satu dan 30’, Saya langsung menangis bahagia. Saya sudah sempat hilang harapan,” katanya.
Nour lalu memutuskan meninggalkan suaminya di Gaza dan pergi ke Mesir menjumpai buah hatinya. Leen dan Layan kini berada di inkubator terpisah di Rumah Sakit New Capital, Kairo, dalam kondisi kesehatan yang ‘stabil’.
Nour mengatakan dia bisa mengidentifikasi anaknya melalui ‘gelang tangan yang bertuliskan nama mereka’. Kedua bayi itu lapar dan menangis, katanya.
“Dokter di Rafah bicara ke saya, mereka datang dengan kondisi yang sangat lemah dari Al-Shifa. Dia bertanya-tanya bagaimana dokter di sana bisa menyelamatkan nyawa mereka,” jelas Nour.
Dr Mohamed Salama, kepala unit neo-natal di RS Al Hilal Emirates mengatakan ke BBC, ada 12 orang tua tiba untuk mengidentifikasi bayi-bayi prematur mereka.
Selain itu, dia menambahkan bahwa tidak semua orang tua dapat datang karena mungkin mereka “terluka atau terbunuh atau terperangkap di wilayah Gaza utara”.
Para orang tua, yang tiba di Rafah, diminta untuk menandatangani surat persetujuan agar bayi-bayi mereka dipindahkan ke Mesir guna menjalani perawatan.
“Bayi lain yang orang tuanya tidak hadir, dikirim ke Mesir untuk dirawat dengan didampingi perawat,” katanya.
’Saya ingin melihat bayi saya’
Dr Salama mengatakan, dua orang tua menolak bayi mereka dipindahkan ke Mesir untuk menjalani perawatan. Warda dan Ali Sebeta, ibu dan ayah dari seorang bayi laki-laki prematur bernama Anas, termasuk di antara mereka yang memilih untuk menjaga bayi di Rumah Sakit Al Hilal Emirates.
“Saya menolak mengirimnya ke Mesir karena saya tidak percaya saya akhirnya dapat menemukannya. Dokter Mesir tidak akan memberinya perawatan lebih dari yang bisa saya berikan sendiri atau para dokter di sini.”
“Saya ingin dia berada di depan mata saya. [Jika dipindah] sulit bagi saya untuk menjangkaunya,” kata Warda, ibu dari tujuh anak lainnya.
Ayah dari bayi Anas, Ali mengatakan ke BBC bahwa istrinya tidak bisa meninggalkan anak-anak mereka yang lain untuk menemani bayinya menjalani perawatan di Mesir.
“Mereka [anak-anak] membutuhkannya, dan sebagai ayah, saya tidak mau membiarkan anak saya terpisah lagi.
“Menemukannya seperti mendapat setetes air di gurun yang luas. Rasanya seperti jiwa saya kembali ke tubuh saya,” kata Ali, yang bekerja sebagai guru.
Ali menambahkan bahwa dia tidak pernah menyangka dapat bertemu dengan anak laki-lakinya lagi, setelah berpisah selama 45 hari.
“Saya tidak membayangkan anak saya ada di antara bayi-bayi prematur yang hidup, karena mereka mengatakan 27 bayi prematur meninggal karena tidak ada ventilator yang berfungsi. Saya berharap bisa melihatnya dan menguburkannya. Saya sudah putus asa,” ujarnya.
Orang tua Anas, yang meninggalkan rumahnya di Gaza utara berkali-kali, telah tinggal di sebuah sekolah milik United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA), di kota selatan Khan Younis sejak 13 Oktober lalu.
Untuk itu, sulit bagi mereka untuk tetap berkomunikasi dengan para dokter di Al-Shifa.
“Saya tahu bahwa bayi-bayi itu dievakuasi melalui tetangga saya. Saya tidak tahu apakah anak saya masih hidup. Saya hanya mencari dia,” kata Warda.
Dia menambahkan bahwa mereka harus mencari Anas di semua rumah sakit di wilayah selatan, hingga akhirnya mereka diberitahu bahwa anaknya dipindahkan ke RS Al Hilal Emirates di Rafah.
“Ini adalah perasaan yang tak terlukiskan ketika saya mengetahui dia masih hidup. Ketika saya masuk ke RS, saya melihat banyak anak-anak yang terluka, saya kehilangan harapan bahwa saya akan melihat anak saya di antara mereka.”
“Saya mencarinya, dan ketika saya melihatnya, dia telah tumbuh sedikit dan wajahnya sedikit berubah. Saya bersyukur kepada Tuhan dia masih hidup,” katanya.
Warda begitu bahagia bisa menyentuh putranya untuk pertama kali sejak ia lahir.
“Saya memasukkan tangan saya ke dalam inkubator untuk menyentuh kulitnya. Di pagi hari, dokter mengizinkan saya menggendong, memeluk dan menciumnya,” katanya.
Anas, bayi nomor 27 dalam daftar, dirawat di inkubator karena kadar hemoglobinnya rendah dan menderita sakit perut akibat pola makan yang buruk.
Namun ibunya mengatakan dia sekarang sudah keluar dari rumah sakit dan kembali bersama keluarganya di sekolah pengungsi UNRWA.
Warda menambahkan: “Kami tidak bisa menggambarkan kebahagiaan kami.”