Spirit of Aqsa, Jakarta – 38 tahun silam, tepatnya 16-18 September 1982, sebuah tragedi mengerikan terjadi di Sabra dan Shatila. Sabra dan Shatila adalah nama sebuah pengungsian di Beirut, Libanon. Sabra merupakan sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, Libanon. Sedangkan Shatila dibangun untuk para pengungsi Palestina sejak tahun 1949.
Selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga biasa disebut “Kamp Sabra-Shatila”. Kala itu, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mendapatkan jaminan dari Amerika, bahwa warga sipil yang tinggal di pengungsian tersebut akan dilindungi.
Namun jaminan tersebut tidak benar adanya, justru tentara Israel di bawah kepemimpinan Menteri Pertahanan Israel (Ariel Sharon), mengepung Sabra-Shatila dan membiarkan para milisi Kristen Maronit Libanon yang dipimpin kaum Phalangis membantai pengungsi di dalamnya.
Korban Mencapai 8 Ribu Orang
Pembantaian Sabra dan Shatila terjadi selama tiga hari, yakni pada tanggal 16 hingga 18 September 1982. Tragedi ini menelan korban sekitar 3.500 – 8.000 orang, termasuk orang tua, wanita, anak-anak, bayi yang dibantai dan dibunuh secara kejam.
Pembunuhan tersebut secara jelas sengaja dilakukan kepada orang-orang yang tidak bersalah, dan tidak pandang usia.
Pada saat itu Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menggunakan Libanon sebagai pangkalan penyerangan kepada Israel. Sehingga tentara Israel menjadikan alasan bahwa pembantaian itu untuk mencari 1.500 personil PLO yang menurut mereka berada di kamp Sabra dan Shatila.
Setelah pembantaian terjadi, Mahkamah Agung Israel membentuk Komisi Cahan untuk menyelidiki pembantaian dan pembunuhan di pengungsian tersebut. Namun, hasil penyelidikannya nihil. Tidak ada nama yang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk juga Ariel Sharon yang kala itu melanjutkan karir politiknya menjabat sebagai Perdana Menteri Israel.
Pembantaian Sabra-Shatila bukan yang pertama atau terakhir terjadi. Banyak pembantaian yang dilakukan di tempat berbeda di antaranya Jalur Gaza, Deir Yassin, Qibya, Tantour, Jenin, Al-Quds, Hebron, dan lainnya. Namun, hingga kini tidak ada satu pun komandan atau tentara Israel yang secara resmi bertanggung jawab atas kejahatan dan pembantaian terhadap rakyat Palestina. (Aqsa Istitute)