Ribuan warga sipil di Gaza terus menghadapi kelaparan akibat blokade ketat Israel sejak 2007. Untuk itu, ratusan aktivis internasional kembali menggalang kekuatan: Global Sumud Flotilla, armada sipil terbesar yang pernah diarahkan ke Gaza.
Gelombang pertama kapal (puluhan kapal berisi aktivis, dokter, relawan kemanusiaan, dan muatan bantuan medis) dijadwalkan berangkat dari pelabuhan Spanyol pada 31 Agustus. Mereka akan bergabung dengan armada kedua di Tunisia pada 4 September, lalu berlayar bersama menuju Gaza. Menurut panitia, misi ini melibatkan lebih dari 50 kapal dengan delegasi dari 44 negara di enam benua.
Siapa Saja yang Terlibat?
Partisipan berasal dari berbagai latar belakang (aktivis HAM, tenaga medis, seniman, agamawan, pelaut, hingga akademisi) semuanya tidak terafiliasi dengan partai politik maupun pemerintah. Tujuan mereka satu: mematahkan blokade ilegal Israel dan menyampaikan bantuan kemanusiaan langsung ke Gaza.
Empat koalisi besar berada di belakang misi ini:
- Global Movement to Gaza (GMTG), gerakan akar rumput internasional yang sejak lama mengorganisir aksi solidaritas global.
- Freedom Flotilla Coalition (FFC), berpengalaman 15 tahun dalam misi laut ke Gaza, termasuk flotilla legendaris Mavi Marmara, Madleen, dan Handala.
- Maghreb Sumud Flotilla, inisiatif dari Afrika Utara yang mengorganisir konvoi solidaritas.
- Sumud Nusantara, armada rakyat dari Malaysia, Malaysia dan delapan negara lain di Asia Tenggara, yang membawa semangat solidaritas negara-negara Global South.
Bersama, mereka membentuk konvoi sipil terkoordinasi terbesar sepanjang sejarah.
Kapan Berangkat dan Berapa Lama Perjalanan?
Dalam konferensi pers di Barcelona, juru bicara Saif Abukeshek menegaskan detail teknis, termasuk rute pelabuhan, dirahasiakan demi keamanan. Armada diperkirakan menempuh perjalanan 7–8 hari, menyeberangi jarak sekitar 3.000 km menuju Gaza.
Mengapa Jalur Laut?
Flotilla (armada kapal bantuan) umumnya dipilih ketika jalur darat dan udara terblokir. Gaza sejak 2007 dikurung total oleh Israel, termasuk wilayah udara dan perairannya. Bandara internasional Yasser Arafat dihancurkan pada 2001, meninggalkan Gaza tanpa pintu keluar udara. Karena itu, jalur laut menjadi satu-satunya cara untuk mengirim bantuan dalam skala besar.
Misi laut ini juga membawa pesan politik: blokade adalah bentuk kejahatan kolektif, dan harus dihentikan.
Apa yang Terjadi pada Flotilla Sebelumnya?
Upaya mematahkan blokade lewat jalur laut sudah berulang kali dilakukan, namun hampir selalu dihadang Israel:
2008, dua kapal dari Free Gaza Movement berhasil menembus blokade, menjadi preseden pertama.
2010, tragedi Mavi Marmara: pasukan Israel menyerbu di perairan internasional, menewaskan 10 aktivis dan memicu kecaman global.
2011–2018, beberapa armada termasuk Freedom Flotilla II, Marianne of Gothenburg, dan Just Future for Palestine berlayar, tapi hampir semuanya diintersep.
2025, serangkaian serangan kembali terjadi: kapal Conscience dihantam drone di Laut Mediterania; Madleen dan Handala diserbu militer Israel di perairan internasional saat membawa bantuan.
Meski menghadapi risiko tinggi, aktivis internasional menegaskan bahwa aksi ini bukan sekadar simbolis. “Flotilla adalah cara langsung untuk menantang blokade,” ujar Abukeshek, “dan pesan kami jelas: pengepungan Gaza harus berakhir.”