Jean-Pierre Filiu, akademisi dan sejarawan Prancis yang dikenal luas atas kepakarannya soal Timur Tengah, menghabiskan 32 hari di Jalur Gaza antara Desember 2024 dan Januari 2025. Ia datang sebagai bagian dari misi kemanusiaan bersama Médecins Sans Frontières (Doctors Without Borders). Dalam buku barunya yang akan terbit bertajuk “Sejarawan di Gaza”, ia mencatat kesaksiannya yang langka dan mengguncang tentang penderitaan rakyat Palestina—di tengah blokade informasi yang diberlakukan Israel terhadap jurnalis asing.
Melalui kutipan eksklusif yang dimuat Le Monde, Filiu mengungkap kenyataan yang disebutnya tak bisa digambarkan kata-kata. Ia menulis, “Tak ada satu pun yang bisa mempersiapkan saya untuk apa yang saya lihat di Gaza. Tak satu pun.” Apa yang ia saksikan—dari puing-puing rumah sakit hingga perkampungan yang terhapus dari peta—adalah trauma terbuka dari sebuah masyarakat yang terkoyak habis-habisan.
Gaza dalam Angka yang Mengguncang
- 87% bangunan tempat tinggal hancur total atau sebagian.
- 1,9 juta orang mengungsi.
- 80% bisnis lumpuh, 2/3 jalan rusak berat.
- 700.000 perempuan tanpa akses perlindungan kesehatan dasar.
- Akses air menurun drastis: dari 80 liter per hari menjadi hanya 9 liter, termasuk 2 liter untuk minum.
Hidup di Bawah Plastik, Bertahan di Antara Sampah
Dalam penggambaran yang menyayat hati, Filiu menulis tentang kamp-kamp pengungsi dengan tenda plastik yang sobek, anak-anak kecil bertelanjang kaki bermain di antara sampah, dan sistem sanitasi darurat yang penuh risiko. Dalam suhu dingin dan kekurangan pangan, penderitaan paling besar dialami oleh mereka yang paling rentan—perempuan dan anak-anak.
Anak-anak Gaza, yang seharusnya duduk di bangku sekolah, kini memungut makanan dari tempat sampah dan meminta-minta di jalanan. Hanya ada empat dokter jiwa yang melayani seluruh wilayah, sementara trauma membekas di setiap wajah muda.
Sementara itu, banyak perempuan menderita infeksi kulit, gangguan pencernaan, dan minimnya akses pada produk kebersihan. Bahkan, di tengah keputusasaan, beberapa keluarga menikahkan anak perempuan mereka di usia belia—bukan karena tradisi, melainkan sebagai “perlindungan psikologis.”
Kekuasaan, Kekosongan, dan Kekacauan
Di balik reruntuhan, kekuasaan Hamas masih berdiri—meski dipukul telak oleh pembunuhan sejumlah pemimpinnya. Menurut Filiu, kelompok ini terus merekrut dan menyesuaikan diri, menunjukkan bahwa pembunuhan tidak membungkam perlawanan.
Namun, di tengah kekosongan otoritas dan ketidakamanan yang merajalela, kejahatan dan penjarahan meningkat. Bahkan, konvoi bantuan—termasuk yang di bawah perlindungan Israel—ikut dijarah. Gaza telah menjadi zona kekuatan siapa yang paling brutal, bukan siapa yang paling butuh.
Media Dibungkam, Korban Dibunuh Dua Kali
Filiu menegaskan bahwa Israel telah memenangkan “perang media.” Dengan menutup akses jurnalis internasional ke Gaza, dunia disajikan satu narasi tunggal—tanpa ruang bagi suara-suara korban. Maka, rakyat Palestina, menurutnya, “dibunuh dua kali”: sekali oleh bom, dan sekali lagi oleh penghapusan martabat dan suara mereka dari panggung dunia.
Sejak Januari 2025, UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) pun dilarang beroperasi di Gaza. Akibatnya, gelombang besar anak-anak putus sekolah pun tak terelakkan.
Gaza Buntu dari Tiga Arah
Filiu merangkum penderitaan Gaza dalam tiga jalan buntu yang mematikan:
- Kebuntuan Israel – Obsesi keamanan tanpa jalan keluar politik.
- Kebuntuan Palestina – Perpecahan internal, tanpa kepemimpinan demokratis yang jelas.
- Kebuntuan Kemanusiaan – Bantuan dunia menjadi sia-sia tanpa solusi politik yang mendasar.
Gaza: Tragedi Kemanusiaan atau Kegagalan Moral Dunia?
Jean-Pierre Filiu menutup kesaksiannya dengan pernyataan yang mengguncang: “Gaza bukan sekadar bencana kemanusiaan. Ia adalah kejatuhan moral dunia.” Diamnya dunia terhadap kehancuran total ini, menurutnya, menjadi titik balik sejarah. Dunia yang mengklaim demokrasi justru menampakkan wajah apatis—membiarkan kekerasan, kebungkaman, dan ketidakpedulian menjadi hukum tertinggi.
Sumber: Le Monde