Spirit of Aqsa- Setelah berjam-jam mengantri di satu-satunya toko roti di Kota Khan Younis, Gaza Selatan, Muhammad Sharab pulang dengan tangan kosong, gagal mendapatkan sepotong roti untuk keluarganya. Untuk hari ketiga berturut-turut, pria berusia 40-an ini pulang ke keluarganya dengan perasaan sedih karena tak bisa memberikan roti bagi keenam anaknya.

“Sudah dua minggu kami tidak merasakan roti yang layak,” katanya kepada Al Jazeera Net.

Sharab dan keluarganya hanya bisa mengandalkan sisa-sisa tepung dalam kantong terakhir mereka, yang menurutnya “tidak layak dimakan.” Mereka terpaksa menyaring tepung yang berkualitas buruk itu untuk dijadikan roti agar bisa menyambung hidup dengan bantuan makanan dari dapur amal terdekat.

Sejak awal Oktober, lebih dari dua juta warga Palestina di Gaza mengalami krisis pangan akibat penutupan total akses bantuan dan barang dagangan di jalur Karam Abu Salem. Penutupan juga diperparah dengan blokade di perbatasan Rafah oleh pasukan Israel sejak Mei lalu.

Antrian Roti yang Panjang

Setiap pagi, Sharab menempuh perjalanan jauh dari tenda pengungsian di kawasan Mawasi menuju “Toko Roti Qala’a” di pusat kota, berharap bisa mendapatkan roti untuk keluarganya. Antrian panjang di toko roti satu-satunya di Khan Younis, yang berpenduduk sekitar 1,2 juta orang, menciptakan ketegangan yang sering berujung pada perdebatan. “Ini taktik mereka; kelaparan dijadikan senjata untuk memecah kami,” ujar Sharab.

Karena kekurangan bahan baku, banyak dapur amal berhenti beroperasi sementara, hanya menyisakan satu dapur amal yang masih bisa membantu keluarga Sharab dan para pengungsi lainnya. Di hari-hari tertentu, keluarganya hanya bisa makan satu kali, bergantung pada makanan kaleng yang dimasak oleh dapur amal.

Krisis Tepung

Harga tepung melonjak tajam di Gaza, mencapai 250 shekel (sekitar 67 dolar) untuk satu kantong 25 kilogram. Meryam Al-Masri, seorang warga Khan Younis, mengatakan suaminya telah mencari tepung selama dua hari tanpa hasil. “Bahkan kalau ada, kami tak mampu membelinya,” ujarnya. Sebelum penutupan, satu kantong tepung hanya seharga 10 shekel (kurang dari 3 dolar). Namun, karena tak ada pasokan dari UNRWA, harga melonjak tajam.

Beberapa warga mulai menjual roti dengan harga tinggi. Suami Meryam terpaksa membeli roti seharga 20 shekel dari seorang remaja yang mengantre sejak pagi hanya untuk dijual kembali dengan harga lebih mahal. “Kita dikepung, tapi bahkan sesama kita tak berbelas kasihan, memanfaatkan penderitaan dengan menaikkan harga,” ujar Meryam yang kehilangan beberapa anggota keluarganya dalam perang ini.

Kebijakan “Pembatasan Makanan”

Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Kemanusiaan (OCHA), bantuan kemanusiaan ke Gaza sangat terhambat sejak awal bulan ini. Ismail Al-Thawabteh, Direktur Kantor Informasi Pemerintah, menyebutnya sebagai “kebijakan pembatasan makanan” oleh Israel yang menyebabkan harga melonjak dan krisis roti semakin dalam karena UNRWA dilarang mengirim truk-truk bantuan.

Menurut laporan UNRWA, lebih dari 1,8 juta warga Gaza kini menghadapi ancaman kelaparan. “Orang-orang berjuang untuk mendapatkan sepotong roti di Deir Al-Balah; seluruh Gaza menghadapi bahaya kelaparan,” tutup laporan itu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here