Di tengah reruntuhan dan debu yang menyelimuti Kamp Pengungsi Al-Bureij, di jantung Gaza, bulan Ramadan tiba seperti tamu yang dinanti—membawa harapan sekaligus menguji kesabaran.

Para pengungsi, yang dipaksa meninggalkan rumah mereka oleh pembantaian yang tak mengenal belas kasih, tetap setia pada tradisi. Di dalam tenda-tenda sempit yang diterangi cahaya redup, mereka bersiap menyambut iftar, bukan dengan kemewahan, tetapi dengan hati yang penuh ketabahan.

Meski kehancuran mengepung dari segala arah, meski lapar dan dingin menjadi teman sepanjang hari, semangat Ramadan tetap menyala di sanubari mereka.

Tak ada meja makan yang megah, tak ada hidangan melimpah seperti yang dulu tersaji di rumah mereka yang kini telah menjadi puing. Namun, ada tangan-tangan yang tetap bekerja, ada doa-doa yang tetap terucap, dan ada kebersamaan yang tetap terjaga

.Di atas tikar yang terbentang di lantai berpasir, hidangan sederhana tersaji—sepotong roti, secangkir teh, atau semangkuk sup yang dibagi dengan penuh kasih. Bagi mereka, ini bukan sekadar makanan, melainkan simbol ketahanan.

Setiap suapan adalah perlawanan terhadap keputusasaan, setiap tegukan adalah janji bahwa mereka akan bertahan, bahwa Gaza akan tetap hidup, bahwa Ramadan tetap suci meski di bawah langit yang dihujani peluru.

Mereka mungkin tak memiliki banyak, tetapi mereka memiliki sesuatu yang lebih berharga dari segalanya—keimanan yang tak tergoyahkan, harapan yang tak pernah padam, dan keyakinan bahwa fajar kebebasan suatu hari akan menyingsing di atas Gaza yang mereka cintai.

Di Kamp Pengungsi Al-Bureij, yang terletak di tengah-tengah Jalur Gaza, para pengungsi bersiap menyambut waktu iftar Ramadan. (AFP)

Tradisi Ramadan tetap hidup dalam ingatan warga Gaza, meskipun pembantaian dan kondisi sulit terus membayangi. (AFP)

Hidangan Ramadan di Kamp Bureij lebih bermakna daripada santapan apa pun. (AFP)

Sebuah hidangan berbuka yang disiapkan dalam keterbatasan, dengan bahan yang langka dan harga yang melambung tinggi. (AFP)

Dari tengah reruntuhan di Kamp Al-Bureij, dapur-dapur amal berdiri sebelum waktu berbuka. (AFP)

Perlawanan mereka menghadapi penjajahan lebih kuat dari segala belenggu. (AFP)

Mata mereka yakin bahwa roti akan tetap dipanggang, tak peduli seberapa kencang badai menerpa. (AFP)

Hidangan di tenda ini bukan sekadar santapan berbuka puasa, tetapi simbol keteguhan dan harapan. (AFP)

Melainkan pesan perlawanan dan keteguhan bahwa kehidupan akan terus berlanjut. (AFP)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here