Pagi berat di bulan Maret itu, Hossam al-Ghoul meninggalkan rumahnya di Kamp Al-Shati, Gaza. Di tangannya hanya ada kantong kosong, tapi di hatinya tersisa sedikit harapan, menemukan tepung untuk anak-anaknya yang kelaparan. Ia tak tahu bahwa jalan menuju rumah sakit Al-Shifa sudah dikepung tank-tank Israel. Sejak itu, Hossam hilang tanpa jejak.
“Dia keluar hanya untuk mencari tepung,” ujar istrinya, Asma, menahan tangis. “Kami tidak punya apa-apa untuk dimakan. Saya mencoba mencari tahu lewat Palang Merah, tapi tak pernah mendapat kabar. Saya yakin dia dieksekusi dan dikubur di makam massal dekat Al-Shifa. Saya melihat jenazah-jenazah yang digali, tapi tak bisa mengenalinya lagi.”
Di Khan Younis, Umm Muhammad Zidan berjalan gontai menuju makam massal yang baru ditemukan di sekitar Rumah Sakit Nasser. Di tangannya ada bunga, minyak kafur, dan sebotol parfum, bukan untuk pesta pernikahan putranya, Nabil, seperti yang dulu ia impikan, melainkan untuk perpisahan terakhir.
“Yang dulu kusiapkan untuk hari bahagianya,” katanya lirih, “kini kubawa untuk mengiringinya menuju surga, agar tubuhnya yang tercabik bisa kutaburi harum dan bunga.”
Kisah-kisah seperti ini menumpuk di Gaza, membangun catatan luka yang tak berujung. Makam-makam massal bermunculan, tanpa nama, tanpa doa, tanpa kesempatan untuk mengucap selamat tinggal.
Bukti yang Tak Bisa Disembunyikan
Dalam laporan resmi, pemerintah Gaza mengonfirmasi bahwa tentara pendudukan telah membangun sedikitnya tujuh makam massal di dalam kompleks rumah sakit, dan lebih dari lima belas lainnya di sekolah, lapangan umum, dan wilayah timur Gaza. Sebagian besar jenazah dikubur tanpa identitas, tanpa catatan, bahkan tanpa kain kafan.
“Ini bukan kejadian terpisah,” ujar Ismail al-Thawabteh, kepala kantor media pemerintah Gaza.
“Kami telah menemukan 529 jenazah sejauh ini. Tentara menghancurkan 40 makam dari 60 yang ada dan mencuri lebih dari 2.450 jenazah para syuhada. Ini adalah kejahatan penghilangan paksa dan pelanggaran berat terhadap kemanusiaan.”
Laporan PBB dan Uni Eropa pun menyuarakan kekhawatiran mendalam, menuntut investigasi segera atas dugaan pembunuhan massal dan pemakaman rahasia di fasilitas sipil, termasuk rumah sakit dan sekolah.
Upaya Menghapus Jejak
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, tim medis menemukan puluhan kerangka manusia di lokasi-lokasi yang sebelumnya menjadi zona militer Israel. Beberapa makam bahkan dibongkar kembali oleh pasukan Israel, lalu jenazahnya dipindahkan ke Israel sebelum dikembalikan diam-diam melalui Palang Merah.
“Kami menolak menerima jenazah-jenazah itu tanpa dokumen resmi,” ujar Dr. Zahir al-Wahidi, pejabat kesehatan Gaza.
“Kami tidak tahu apakah itu jasad para syuhada, tawanan yang dieksekusi, atau jenazah lama yang digunakan untuk menutupi kejahatan baru.”
Sementara itu, petugas pertahanan sipil mendapati fakta mencengangkan: jenazah-jenazah itu dikubur dalam kantong plastik biru yang mempercepat pembusukan.
“Ini cara untuk menghapus bukti,” kata Mohammed al-Mughir, kepala logistik pertahanan sipil. “Kami juga menemukan tanda-tanda pemotongan organ, luka tembak di kepala, dan tangan yang terikat dengan kabel plastik.”
Kejahatan yang Melebihi Batas Kemanusiaan
Bagi pengacara HAM internasional Salah Abdul Ati, apa yang terjadi di Gaza bukan sekadar pelanggaran hukum perang, tetapi genosida yang sistematis dan terencana.
“Pemakaman di lokasi rahasia tanpa identitas adalah bentuk penghilangan paksa,” tegasnya. “Ini bukan hanya melukai keluarga korban, tapi juga merobek nurani kemanusiaan dunia. Kami punya bukti bahwa tentara Israel mencuri jenazah, menghancurkan kuburan, dan menghapus identitas korban. Diamnya dunia adalah bentuk keterlibatan.”
Ia menutup, “Setiap makam massal yang ditemukan bukan sekadar tanah yang tergali—itu adalah jeritan kebenaran yang berusaha ditimbun oleh penjajahan.”