Minggu ini, Masjid Al-Aqsha kembali berada di bawah ancaman pelanggaran serius. Kelompok-kelompok ekstremis Yahudi berencana menggelar aksi provokatif besar-besaran dalam rangka memperingati apa yang mereka sebut sebagai “Hari Kehancuran Bait Suci”, hari berkabung atas runtuhnya dua bangunan kuil yang mereka klaim pernah berdiri di tanah Al-Quds.
Pada peringatan serupa tahun lalu, sebanyak 2.958 ekstremis menerobos masuk ke halaman Al-Aqsha. Tahun ini, mobilisasi yang sama (bahkan lebih besar) kembali direncanakan. Suasana makin mengkhawatirkan karena partai-partai ultranasionalis kini mendominasi pemerintahan Israel, sementara dunia Arab dan Islam terus bungkam tanpa tindakan nyata.
Kelompok Yahudi meyakini bahwa “bait suci pertama” dihancurkan oleh Babilonia pada tahun 586 SM dan “bait suci kedua” diruntuhkan oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 70 M. Sebagai bentuk ratapan, mereka membaca bagian dari Kitab Ratapan pada tanggal 9 Agustus dalam kalender Ibrani, yang bertepatan tahun ini dengan hari Ahad.
Namun, ratapan itu tak berhenti di dalam sinagoga. Al-Aqsha kembali menjadi sasaran. Dalam beberapa tahun terakhir, ekstremis Yahudi bahkan membawa naskah ratapan ke dalam kompleks masjid dan membacakannya di tempat suci itu, sebuah tindakan yang bagi umat Islam merupakan pelanggaran mencolok atas kesucian tempat ibadah mereka.
Tahun lalu, pelanggaran-pelanggaran itu disertai dengan pengibaran bendera Israel, ritual sujud penuh (prostrasi total), tarian, nyanyian, serta kehadiran anggota parlemen Israel dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir. Tahun ini, setelah Ben Gvir menginstruksikan polisi untuk mengizinkan tarian dan nyanyian di dalam kompleks, kekhawatiran akan eskalasi pelanggaran makin membesar.
“Hari Paling Berbahaya bagi Al-Aqsha”
Dr. Abdullah Marouf, mantan pejabat hubungan media Masjid Al-Aqsha, menyebut peringatan tahun ini sebagai hari paling berbahaya sepanjang tahun bagi masjid tersebut. Menurutnya, kelompok-kelompok “Gugus Bait” menjadikan momen ini sebagai puncak penodaan. Terlebih lagi, pemerintah Israel (di bawah dominasi kelompok ekstremis) telah memberikan lampu hijau untuk perubahan status quo di Al-Aqsha.
“Status quo itu sejatinya sudah tiada,” kata Marouf. Tahun 2024 mencatat sejarah kelam saat para pemukim diizinkan oleh Ben Gvir untuk melakukan ibadah di area masjid. Tahun ini, izin itu meluas: mereka bebas menari dan menyanyi di tempat kiblat pertama umat Islam.
Menurut Marouf, situasi menjadi lebih genting karena diamnya dunia Islam dan Arab terhadap apa yang terjadi (baik di Gaza, Hebron, maupun Al-Quds) mendorong ekstremis merasa waktunya telah tiba untuk mendirikan sinagoga di dalam Al-Aqsha.
Ekskalasi Tanpa Batas dan Eksperimen Berbahaya
Tahun ini, peringatan “Hari Kehancuran Bait” bisa saja menjadi ajang eksperimen baru. Kelompok ekstremis diyakini akan mencoba melakukan ritual yang tak berhubungan langsung dengan sejarah kehancuran bait suci, seperti penyembelihan hewan kurban, ritual yang sebelumnya telah mereka coba lakukan saat perayaan Paskah dan Shavuot.
“Ini mungkin terjadi karena mereka percaya waktu terbaik untuk mendirikan sinagoga adalah sekarang, saat dunia Islam kehilangan suara,” ujar Marouf.
Krisis Populer adalah Satu-satunya Penahan
Marouf mengakhiri keterangannya dengan peringatan serius: “Tidak ada yang bisa memprediksi ke mana arah situasi di Al-Quds selama kelompok ekstremis dan Zionis religius masih memegang kendali pemerintahan Israel.”
Apalagi saat ini Knesset tengah libur panjang musim panas, dan tidak ada tanda-tanda pemerintahan Netanyahu akan tumbang. Maka, aksi-aksi barbar yang belum pernah terjadi sebelumnya bisa saja meledak kapan saja.
“Satu-satunya penghalang adalah ledakan kemarahan rakyat. Selama pendudukan tidak merasa ada harga yang harus dibayar, mereka akan terus maju hingga mencapai tujuannya: mendirikan sinagoga di tengah Masjid Al-Aqsha,” tutup Marouf.
Sumber: Al Jazeera