Majalah The Economist mengungkap data mengejutkan, jumlah warga Palestina yang syahid di sekitar lokasi distribusi bantuan di Gaza melonjak lebih dari delapan kali lipat antara Mei dan Juni 2025. Lonjakan ini terjadi seiring dimulainya operasi “Gaza Humanitarian Mission,” lembaga yang didukung dan dibiayai langsung oleh Amerika Serikat.

Mengutip data dari Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED), laporan itu menyebut sebanyak 800 warga Palestina syahid hanya dalam bulan Juni saat mencoba mengakses bantuan. “Menerima bantuan di Gaza kini telah berubah menjadi tindakan yang mematikan,” tulis The Economist.

Citra satelit dan peta menunjukkan bahwa empat pusat distribusi milik “Gaza Humanitarian Mission” terletak di zona militer yang dikuasai penuh oleh tentara pendudukan Israel. Bahkan, kawasan itu telah dikosongkan lebih dulu dari warga sipil, sebuah indikasi kuat bahwa distribusi bantuan ini bukanlah misi kemanusiaan, melainkan bagian dari operasi militer terselubung.

Sejak akhir Mei, lembaga tersebut mengambil alih distribusi pangan dari tangan lembaga-lembaga internasional yang sebelumnya menolak berkolaborasi karena menilai proyek ini sebagai “jebakan pembantaian massal, alat pengusiran paksa, dan strategi penghinaan kolektif.”

Kementerian Kesehatan Gaza mencatat, sejak proyek ini diluncurkan, 1.157 warga Palestina gugur dan lebih dari 7.758 lainnya luka-luka akibat serangan militer di titik-titik distribusi makanan dan antrean bantuan.

Laporan ke Mahkamah Pidana Internasional

Menyikapi tragedi ini, Organisasi Arab untuk Hak Asasi Manusia di Inggris mengajukan gugatan ke Kantor Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Mereka mendesak penyelidikan segera atas kejahatan berat yang dituduhkan kepada para pengelola “Gaza Humanitarian Mission” serta perusahaan-perusahaan keamanan swasta yang bekerja sama dengannya.

“Ini bukan hanya pelanggaran, ini adalah kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan bagian dari genosida sistematis,” tulis mereka dalam pernyataan resmi.

Gugatan tersebut disertai bukti visual, citra satelit, dan peta terverifikasi yang menunjukkan bahwa pusat-pusat distribusi tersebut dibangun bukan untuk memberi bantuan, melainkan untuk membunuh, melaparkan, dan mengusir warga Gaza.

Desainnya menyerupai pangkalan militer: lorong sempit satu arah yang memanjang hingga beberapa kilometer, berujung pada zona penyempitan yang mematikan. Di titik-titik itu, ketika warga sipil semakin mendekat, peluru dan tembakan artileri menyambut mereka. Bahkan ada laporan tank menembakkan proyektil langsung ke kerumunan.

Pembunuhan ini, menurut organisasi tersebut, bukan insiden acak, melainkan bagian dari strategi sistematis. Mereka menyebut lokasi distribusi itu sebagai “perangkap maut berkedok bantuan”, sebuah metode untuk mengatur kelaparan massal secara militer.

Kelaparan sebagai Senjata Perang

Dalam bulan-bulan terakhir, kelaparan di Gaza mencapai tingkat mengerikan akibat pengepungan Israel dan dukungan aktif dari Amerika Serikat terhadap kebijakan genosida. Menurut laporan medis dan organisasi internasional, sebanyak 147 warga Gaza gugur akibat kelaparan dan kekurangan air, termasuk 88 anak-anak.

“Gaza Humanitarian Mission bukan penyelamat,” tegas organisasi HAM tersebut, “melainkan alat pendudukan untuk menghalangi bantuan PBB dan lembaga-lembaga resmi, yang akhirnya menyebabkan kematian ratusan warga sipil.”

Kini, kelaparan menjadi senjata perang. Bukan hanya untuk mematahkan semangat rakyat Gaza, tetapi juga untuk mengatur pemusnahan mereka secara diam-diam, dengan dunia menyaksikan, namun memilih bungkam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here