Spirit of Aqsa- Izuddin Lulu, seorang mahasiswa kedokteran asal Gaza yang dikenal sebagai “pencipta senyuman”. Ia dikenal selalu membawa kebahagiaan. Di balik itu, ia telah kehilangan 20 keluarga, yang pada akhirnya memotivasi untuk membentuk tim penyelamat.
Dalam laporan yang ditulis oleh Bera Ines TRT Word, Izuddin mendirikan sebuah lembaga pendidikan gratis untuk membantu rekan-rekan sesama mahasiswa kedokteran melanjutkan pendidikan.
Izuddin percaya penting untuk memiliki “sistem kesehatan yang komprehensif di Gaza” yang dapat merespons secara efektif terhadap keadaan darurat yang diakibatkan oleh serangan Israel yang terus berlanjut. Ia juga menekankan pentingnya melatih tenaga medis tidak hanya sebagai dokter, tetapi juga sebagai pemimpin yang mampu “merespons secara efektif dalam situasi krisis.”
Mimpi dari Bawah Puing-Puing
Pengalaman pribadi Izuddin, yang terhenti pendidikannya karena perang, mendorongnya untuk fokus pada penyelamatan dan perawatan keluarganya yang menjadi korban serangan udara Israel. Sebagai mahasiswa kedokteran tingkat lima, ia dengan cepat menguasai keterampilan khusus setelah merawat sekitar 700 pasien di Rumah Sakit Al-Shifa.
Sebuah peristiwa pada suatu hari di tengah perang mengubah hidup Izuddin selamanya dan mendorongnya untuk memulai program pendidikan medisnya sendiri. Pada 13 November, Izuddin menerima telepon yang memberitahunya bahwa 20 anggota keluarganya, termasuk ayah dan saudaranya, syahid dalam serangan udara Israel yang menghantam rumah keluarganya di pinggiran Kota Gaza.
Tragedi Besar
Izuddin mengenang momen yang ia gambarkan sebagai tragedi terbesar dalam hidupnya, “Pada saat itu, dunia seakan runtuh di atas kepala saya, saya tidak bisa mempercayai apa yang mereka katakan.”
Ibunya, yang terluka parah, adalah satu-satunya yang selamat dari serangan tersebut. Izuddin kemudian mengetahui dari tim Bulan Sabit Merah (yang merupakan tim penyelamat pertama di lokasi) bahwa teriakan minta tolong dari keluarganya terdengar dari bawah reruntuhan setelah serangan.
Setelah tragedi tersebut, Izuddin mendirikan Lembaga Samir, dinamai sesuai dengan nama almarhum ayahnya, untuk mewujudkan impian orang tua yang ingin melihat anak-anak mereka menjadi dokter yang sukses dan berkualifikasi.
Program yang diluncurkan pada Mei lalu ini menawarkan bantuan keuangan kepada mahasiswa kedokteran yang diperoleh Izuddin melalui donasi online. Para donatur internasional, termasuk organisasi Human Concern International, memungkinkan lembaga Izuddin untuk menyelenggarakan lokakarya pelatihan, termasuk tanggap darurat, perawatan pasien, dan teknik medis canggih, semuanya di bawah ancaman serangan Israel yang terus berlangsung.
Organisasi Nirlaba
Slogan organisasi nirlaba ini adalah “Dari bawah puing-puing menuju sistem kesehatan Palestina yang lebih cerah,” dan mendapat dukungan dari lembaga-lembaga medis Arab. Program ini juga merancang kursus pertolongan pertama dasar untuk memberikan keterampilan yang diperlukan kepada mahasiswa kedokteran dalam menangani keadaan darurat, termasuk cedera serius seperti luka bakar tingkat tiga dan amputasi, yang semuanya menjadi kejadian sehari-hari dalam perang yang sedang berlangsung.
Saat ini, Izuddin bekerja sebagai asisten di sebuah rumah sakit kecil di utara Gaza. Ia menghabiskan hari-harinya di ruang operasi, dari pukul 9 pagi hingga 2 dini hari, dengan hanya sedikit waktu istirahat di tengah gelombang pasien darurat yang tiada henti.
Meskipun inisiatifnya membantu rekan-rekan sesama mahasiswa Palestina untuk menyelamatkan nyawa, Izuddin, yang dulu dikenal sebagai pencipta senyuman, menyadari bahwa keluarganya masih terkubur di bawah puing-puing. “Mencari alasan untuk tersenyum sekarang menjadi tantangan besar bagi saya,” ujarnya.
Sumber: TRT Word