Menjelang perundingan penting di Sharm el-Sheikh terkait rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menghentikan perang di Gaza, delapan negara Arab dan Islam mengumumkan sebuah pernyataan bersama yang memetakan “garis merah” dan menafsirkan secara tegas isi rencana tersebut.

Tujuannya jelas: memperkuat posisi Palestina di meja perundingan.

Para menteri luar negeri dari Qatar, Arab Saudi, Mesir, Yordania, Turki, Uni Emirat Arab, Indonesia, dan Pakistan menyambut baik langkah-langkah yang telah diambil oleh gerakan perlawanan Hamas dalam merespons rencana AS itu. Mereka juga mengapresiasi seruan Trump kepada Israel untuk segera menghentikan pengeboman dan memulai pelaksanaan kesepakatan pertukaran.

Dalam pernyataan itu, delapan negara menegaskan pentingnya segera memulai perundingan guna menyepakati mekanisme pelaksanaan usulan tersebut, dengan dua prinsip utama: tidak boleh ada pengusiran rakyat Palestina dan bantuan kemanusiaan harus mengalir tanpa hambatan.

Dukungan Politik yang Jarang Terjadi

Menurut Direktur Pusat Ruwyah untuk Pembangunan Politik, Dr. Ahmad Attauneh, pernyataan itu sangat signifikan baik dari segi waktu maupun isi.
“Ini bukan sekadar dokumen diplomatik,” ujarnya, “tetapi penegasan ulang terhadap posisi kolektif dunia Arab dan Islam dalam mendukung hak-hak Palestina, baik dari kubu perlawanan maupun posisi resmi Palestina.”

Attauneh menambahkan, pernyataan ini meneguhkan empat prinsip strategis: penghentian perang, larangan pengusiran, keutuhan wilayah Palestina, dan bahwa pemerintahan Gaza pasca-perjanjian harus tetap di tangan rakyat Palestina sendiri.

Senada dengannya, pakar diplomasi dan penyelesaian konflik dari Universitas Arab Amerika, Dr. Dalal Arikat, menyebut dokumen ini sebagai “payung politik Arab-Islam” yang mengembalikan denyut diplomasi untuk memperkuat posisi Palestina di tengah perundingan.
“Pesan yang ingin disampaikan jelas,” katanya, “bahwa bangsa Arab dan umat Islam tidak hanya menonton. Mereka masih menjadi penjamin hak-hak rakyat Palestina, dan proses ini tidak boleh berhenti hanya pada pertukaran sandera.”

Membaca Ulang Rencana Amerika

Dari sudut pandang akademisi dan pakar urusan Israel, Dr. Muhannad Mustafa, pernyataan ini menempatkan Israel bukan semata berhadapan dengan Palestina, tetapi di hadapan seluruh dunia Arab dan Islam.

“Pernyataan itu,” jelasnya, “memberikan tafsir Arab-Islam terhadap rencana Trump, sebagai tandingan dari tafsir versi Israel.”

Mustafa menilai, pentingnya dokumen ini juga terletak pada penolakannya terhadap pendekatan parsial. “Rencana itu harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipecah,” tegasnya, “berbeda dengan upaya Israel yang ingin memecahnya menjadi beberapa tahap demi keuntungan politik.”

Sementara itu, Presiden Trump menyebut proses perundingan berjalan “sangat baik,” dan menggambarkan rencananya sebagai “kesepakatan besar” bagi Israel, dunia Arab, dan dunia internasional. Namun Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengingatkan bahwa penghentian pengeboman di Gaza adalah syarat mutlak untuk pembebasan sandera. Ia juga mengakui bahwa tahap kedua perjanjian, yang mencakup pelucutan senjata dan penarikan pasukan, tidak akan mudah.

Mark Pfeifle, mantan penasihat keamanan nasional Gedung Putih, menegaskan bahwa peran negara-negara Arab dan Islam sangat penting dalam keseluruhan proses.

“Amerika telah mengirim Jared Kushner dan Steve Witkoff untuk mendampingi pembicaraan,” ujarnya, “ini menunjukkan betapa besar bobot isu ini bagi Washington.”

Ancaman Israel dan Ujian Kesepakatan

Di sisi lain, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (yang masih diburu Mahkamah Pidana Internasional) menebar ancaman akan melanjutkan perang jika Hamas tidak segera membebaskan sandera sebelum tenggat waktu berakhir.
Ia menegaskan, “tidak ada satu pun pasal lain dari kesepakatan yang akan dilaksanakan sebelum semua sandera dibebaskan.”

Netanyahu juga menolak keras kemungkinan keterlibatan Otoritas Palestina atau Hamas dalam pemerintahan Gaza pasca-perjanjian.

Ketegangan itu mencerminkan perbedaan mendasar dalam pendekatan terhadap rencana perdamaian ini. Israel ingin melaksanakannya secara bertahap, mulai dari pembebasan sandera.

Namun dunia Arab dan Islam menekankan bahwa rencana ini adalah satu kesatuan utuh, yang mencakup penghentian perang, jaminan kemanusiaan, dan masa depan politik Gaza.

Dr. Attauneh memperingatkan bahwa memisahkan tahap pertama dari keseluruhan kesepakatan hanya akan memperumit proses perdamaian.
Sementara Dr. Arikat mengingatkan, “jangan terjebak pada jebakan tahapan transisi, rencana ini harus dilihat sebagai perjanjian regional komprehensif yang menjamin stabilitas dan keadilan, bukan sekadar pertukaran tawanan.”

Ia menegaskan pentingnya jaminan internasional agar Israel benar-benar menarik diri sepenuhnya dari Gaza dan tidak kembali mendudukinya.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here