Spirit of Aqsa, Palestina- Abu Saher al-Maghari telah mengurus ratusan jenazah syuhada akibat serangan penjajah Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza. Al-Maghari bahkan tak punya waktu untuk menangis ketika bekerja mengurus mayat-mayat tersebut.

Dilansir Al Jazeera, Ahad (12/11), al-Maghari bekerja dalam ruangan sempit kecil dengan ubin putih. Dia berdiri selama berjam-jam di atas platform yang ditinggikan dengan kain putih digantung di pagar.

Lebih dari sebulan, al-Maghari berdiri di depan platform ini dengan lembut merawat jenazah yang tiba di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Jalur Gaza tengah. Pria berusia 53 tahun yang berpenampilan tenang ini telah 15 tahun menjadi pengurus jenazah di rumah sakit tersebut.

Namun, sejak serangan Israel di Jalur Gaza pada 7 Oktober, al-Maghari telah menyaksikan gelombang besar jenazah yang banyak dari mereka kondisi tubuhnya telah terpisah. Dia mengaku belum pernah mengalami masa sesulit ini.

“Saya belum pernah mengalami masa sulit seperti ini dalam hidup saya,” kata al-Maghari.

“Selama bertahun-tahun bekerja, saya selalu menyaksikan 30 hingga maksimum 50 kematian alami setiap hari, dan dalam kasus eskalasi militer Israel sebelumnya, jumlahnya mungkin mencapai sekitar 60,” kenangnya.

Kini, dia menyelimuti sekitar 100 jenazah dan terkadang jumlahnya bisa bertambah hingga 200, tergantung pada intensitas pemboman dan wilayah yang menjadi sasaran pesawat tempur Israel.

“Sebagian besar jenazah tiba di rumah sakit dalam kondisi sangat buruk. Anggota tubuh robek, memar parah dan luka dalam di sekujur tubuh. Saya belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya,” ujarnya.

Jumlah terbesar korban yang diterimanya adalah anak-anak dan perempuan. Dia mengatakan luka yang dialami mayat-mayat tersebut masih asing baginya.

“Yang paling menyedihkan bagi saya adalah mengkafani anak-anak,” kata al-Maghari.

“Hati saya hancur saat saya mengumpulkan anggota badan anak-anak yang terkoyak dan memasukkannya ke dalam satu kain kafan. Apa yang telah mereka lakukan?” sambungnya.

Selama 34 hari terakhir, lebih dari 11.000 warga Palestina tewas dalam serangan Israel di Jalur Gaza. Jumlah ini mencakup lebih dari 4.400 anak-anak dan 2.900 perempuan, sehingga Sekretaris Jenderal PBB menggambarkan Gaza sebagai ‘kuburan’ bagi anak-anak.

Al-Maghari, yang terkadang bekerja dengan asistennya, mengkafani mayat dari jam 06.00 pagi hingga pukul 20.00 waktu setempat tanpa henti. Dia mengatakan beberapa jenazah yang tiba sudah dalam kondisi membusuk dengan tulang terlihat dan bau tak tertahankan setelah berhari-hari tergeletak di bawah reruntuhan bangunan yang dibom.

“Saya memulai hari saya dengan menyelubungi orang mati dan dibunuh dari jam enam pagi sampai jam delapan malam tanpa henti,” ujarnya kepada Al Jazeera saat hendak menuju tempat salat Ashar.

Jenazah lainnya tiba dalam keadaan tercabik-cabik, beberapa terbakar hingga tak bisa dikenali lagi. Dia mengatakan hal itu merupakan sesuatu yang baru baginya. Luka-luka tersebut, katnaya, sangat asing baginya sehingga dia bertanya-tanya apakah sifat rudal dan bahan peledak yang digunakan dalam serangan Israel berbeda dari yang pernah terjadi sebelumnya.

Meski menghadapi kengerian sehari-hari, al-Maghari tetap menjalankan pekerjaannya seperti biasa. Dia mengaku mencoba tegar karena meyakini anggota keluarga dari jenazah itu memiliki hak untuk mengucapkan selamat tinggal yang layak kepada orang yang mereka cintai.

“Misi saya memberi saya tantangan besar. Orang tua di luar menjadi gila karena kesedihan mereka, berteriak dan menangis untuk anak mereka. Jadi saya mencoba untuk berbelas kasih semampu saya dan berusaha membuat tubuh terlihat rapi sehingga mereka bisa mengucapkan selamat tinggal,” ucapnya.

Al-Maghari berfokus menyeka darah dan debu, kemudian menuliskan nama mereka di kain kafannya. Anggota keluarga yang masih hidup sangat terkejut melihat bagian tubuh orang yang mereka cintai terkoyak, yang kemudian dia tempatkan dengan hati-hati dalam satu kain kafan.

“Momen perpisahan terakhir ini selalu memilukan dan kejam. Kadang-kadang saya menerima jenazah yang tidak memiliki ciri-ciri, karena pecahan peluru yang dapat meledak. Di sini, saya mengikat kain kafan itu hingga tertutup agar anggota keluarga tidak mengingat orang yang mereka cintai dalam keadaan yang begitu gamblang,” ujarnya.

Seringkali, dia harus mengkafani jenazah di dalam ambulans karena terlalu sulit untuk membawa potongan-potongan tubuh tersebut ke ruang mayat. Al-Maghari mengatakan,jumlah jenazah yang tiba di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa bertambah dua kali lipat setelah adanya pengungsian massal warga Kota Gaza ke kota-kota di Jalur Gaza selatan.

Al-Maghari percaya bahwa mendiskusikan dampak pekerjaan ini terhadap kesehatan mentalnya adalah sebuah ‘kemewahan’. Dia mengatakan pekerjaannya membuat dirinya bahkan tak punya waktu menangis.

“Menghadapi banyaknya jenazah yang robek dan terbakar yang sebagian besar adalah anak-anak, memerlukan ketangguhan psikologis tingkat tinggi yang tidak dimiliki setiap manusia. Saya menghadapi ujian nyata setiap hari. Tidak ada waktu untuk menangis atau putus asa pada saat yang sama, tetapi kita hanyalah manusia,” ujarnya.

“Saya sering membayangkan anak-anak saya bisa menjadi korban yang saya kafani kapan saja. Semua orang menjadi sasaran, tanpa kecuali,” kata ayah lima anak ini. Al-Maghani pun menangis dalam sesi tanya jawab ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here