Perselisihan antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Kepala Staf Eyal Zamir telah mencapai titik didih. Isu yang memantik konflik ini bukan hal sepele: rencana invasi total ke Jalur Gaza, sebuah langkah yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai “operasi paling menentukan dalam sejarah Israel.”

Media Israel ramai memberitakan pertengkaran panas antara keduanya dalam pertemuan tertutup. Sumber-sumber politik menyebut tak ada kompromi yang tercapai. Nada tinggi mewarnai perdebatan, dengan masing-masing pihak membawa argumen yang mencerminkan konflik dua paradigma: dorongan politik versus pertimbangan strategis militer.

Zamir menolak keras gagasan invasi total. Menurut laporan analis politik Channel 12, Dana Weiss, sang jenderal lebih memilih strategi penekanan bertahap melalui pengepungan dan serangan terbatas untuk menguras kekuatan Hamas, sambil meminimalkan risiko terhadap nyawa para tawanan Israel. Baginya, langkah Netanyahu akan menjerumuskan mereka pada bencana yang lebih besar.

Ketegangan kian memuncak dalam pertemuan terakhir yang disorot media Channel 13. Keduanya saling beradu argumen dengan nada tajam. Zamir menegaskan bahwa operasi militer semacam itu akan “mengorbankan para tawanan.” Netanyahu, di sisi lain, menyindir bahwa pendekatan saat ini tidak berhasil membebaskan mereka, dan karena itu “strateginya harus diubah.”

Namun, di balik konfrontasi ini, militer tampaknya sudah menerima sinyal politik. Meski belum siap sepenuhnya, mereka kini tengah mempersiapkan skenario invasi, sambil menanti keputusan akhir yang dijadwalkan hari Kamis. Hal ini diungkapkan analis militer Channel 24 News, Yossi Yehoshua.

Analis politik Channel 13, Raviv Drucker, bahkan menyebut langkah ini sebagai “strategi terpenting dalam sejarah negara.” Ia menilai, jika Netanyahu benar-benar memaksa operasi itu berjalan, maka Zamir tak punya pilihan lain selain mengundurkan diri. Sebab bagaimana mungkin seseorang memimpin perang yang secara ideologis ia tolak?

Zamir juga memperingatkan dampak besar terhadap legitimasi Israel di mata dunia jika pendudukan total dilakukan. Menurut Roni Sharon dari Channel “Kan”, posisi Zamir masih menggantung, ia belum menolak atau menerima, namun keputusan finalnya akan diumumkan usai rapat.

Jurnalis militer Channel 13, Or Heller, menegaskan: “Konflik ini mencapai puncaknya. Netanyahu menganggap keputusan sudah final, sementara Zamir menolak keras. Tak ada ruang untuk jalan tengah.”

Pensiunan pejabat militer pun ikut angkat bicara. Israel Ziv, mantan kepala Divisi Operasi IDF, menyebut konflik ini sebagai cerminan bahwa pemerintah kini tengah “tersandera oleh kebuntuan politiknya sendiri.” Sedangkan Amos Yadlin, eks kepala intelijen militer, memperingatkan: keputusan menyerang Gaza sama saja dengan “meninggalkan para sandera, bahkan mungkin membunuh mereka.”

Elie Meiri, pensiunan perwira dan pendiri gerakan “Ke Arah Bendera,” menambahkan bahwa meskipun secara teknis IDF bisa menguasai Gaza dalam dua bulan, itu hanya berlaku di permukaan. Di bawah tanah, tempat jaringan Hamas tersembunyi, operasi semacam itu jauh lebih rumit dan panjang.

Ia menutup dengan peringatan yang tajam dan mencemaskan: “Tanpa visi jangka panjang, operasi ini akan menjadi harga mahal yang dibayar dengan darah para tawanan dan tentara. Dan ujungnya, kita akan tetap kembali ke titik awal. Ini langkah yang tidak rasional.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here