Spirit of Aqsa- Penulis Israel, Dror Raphael, dalam artikel yang diterbitkan di surat kabar Maariv, menggambarkan pandangan suramnya tentang masa depan Israel setelah setahun berlalu sejak peristiwa 7 Oktober, ketika perlawanan Palestina melancarkan Operasi Thufan Al-Aqsa. Raphael menegaskan, “setiap warga Israel merasakan lubang hitam di hati mereka sejak saat itu.”

Raphael menjelaskan, tak perlu mengingatkan pemukim Israel tentang apa yang mereka alami, karena mereka hidup dalam penderitaan dan kehilangan setiap hari. Pengungsi di utara dan selatan masih belum kembali ke rumah mereka, para tawanan masih berada di terowongan Gaza, dan kesedihan atas mereka yang tewas belum juga mereda.

“Setiap warga Israel membawa lubang hitam di hati mereka,” tulisnya, sembari mencatat peran media sosial, termasuk akun Israel terkenal di platform X, “Berita dari Tahun Lalu,” yang sering mempublikasikan ulang berita-berita yang telah memprediksi krisis ini sebelum terjadi.

Menurut Raphael, semua orang tahu bahwa Israel sedang menuju bencana, namun para pemimpinnya terlalu sibuk dengan “revolusi hukum” tanpa menyadari bahaya yang mengintai. Ia mencatat bahwa salam yang paling umum saat ini adalah “Kembalikan para tawanan,” menandakan rasa pesimisme yang mendalam.

Raphael juga menyampaikan kekecewaannya terhadap kondisi politik dan sosial di Israel. Menurutnya, nilai-nilai seperti tanggung jawab yang selama ini diyakini oleh warga Israel, ternyata hanyalah ilusi. Ia menyoroti fakta bahwa Komisi Penyelidikan Pemerintah, yang seharusnya dibentuk secara otomatis setelah serangan 7 Oktober, kini hampir dianggap tidak sah.

Raphael menggambarkan generasi muda Israel sebagai generasi yang dipenuhi keputusasaan. Ia mengutip mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill yang pernah berjanji pada rakyatnya “darah, keringat, dan air mata” selama Perang Dunia II, sembari berharap Israel juga menerima janji serupa. Namun, kenyataan menurutnya adalah Israel menghadapi “dekade kematian dan perang tanpa ada cahaya di ujung terowongan.”

Israel Seperti Titanic

Raphael membandingkan situasi Israel saat ini dengan kapal Titanic yang berlayar menuju gunung es, sambil mengkritik kurangnya kepemimpinan yang jelas dan visi untuk keluar dari krisis ini. Ia juga menyoroti pemerintahan ekstremis yang memimpin Israel saat ini, mengkritik para pemimpin dari Perdana Menteri Benjamin Netanyahu hingga komandan militer dan intelijen, yang ia sebut “berpandangan sempit dan sombong.”

Raphael juga menyoroti dampak dari perpecahan yang terjadi di Israel dan bagaimana hal ini akan mempengaruhi masa depan. Ia mencatat bahwa generasi yang berusia 40 hingga 50 tahun merasa muak dengan Knesset dan pemerintah, sehingga enggan terlibat dalam kepemimpinan.

Raphael juga mencatat fenomena “migrasi terbalik” di kalangan warga Israel yang merasa putus asa terhadap situasi negara tersebut. Menurutnya, warga Israel yang lahir tahun lalu kemungkinan akan tinggal di negara lain yang lebih dingin, meskipun mereka sebelumnya berjanji untuk tetap tinggal di Israel.

Meski Raphael berusaha menyeimbangkan gambaran suram ini dengan menyebut para tentara muda yang “berjuang untuk memperbaiki negara yang telah runtuh,” ia menutup artikelnya dengan sebuah pertanyaan untuk generasi mendatang: “Bagaimana mereka tidak melihat ini datang? Bagaimana mereka tidak mengetahuinya? Bagaimana mereka tidak mencegah atau memperingatkan? Dan yang lebih penting, bagaimana mereka tidak merasa malu?”

Sumber: Maariv

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here