Raouya Kamil Abdullah, seorang wanita Palestina berusia 54 tahun, khawatir kehilangan nyawanya sebelum mendapatkan kesempatan untuk berobat ke luar negeri. Hal ini disebabkan oleh pembatasan dan komplikasi yang diberlakukan Israel terhadap perjalanan pasien dan korban luka perang melalui perbatasan Rafah antara Gaza dan Mesir.

Terbaring lemah di atas mesin cuci darah di Kompleks Medis Nasser, Khan Younis, Gaza Selatan, Raouya meneteskan air mata. “Saya memiliki tiga putri, dan saya ingin melihat mereka bahagia,” katanya kepada Al Jazeera Net.

Raouya terus memikirkan penyakitnya, masa depannya, serta nasib ketiga putrinya. Ia merasa sedih dan terluka karena menderita penyakit ini di usia yang masih tergolong muda, sebelum ia sempat menyaksikan kebahagiaan putrinya menikah. “Harapan saya adalah memastikan mereka baik-baik saja sebelum sesuatu terjadi pada saya,” ujarnya dengan nada penuh kesedihan dan harapan.

Derita Akibat Perang dan Penyakit

Tiga tahun lalu, Raouya didiagnosis menderita gagal ginjal. Sejak saat itu, ia harus menjalani perawatan cuci darah tiga kali seminggu. Baginya, setiap perjalanan ke rumah sakit untuk cuci darah adalah ujian yang berat. Selama tiga jam ia terbaring di mesin dialisis, yang terus mengingatkannya pada penyakitnya, putrinya, dan kehidupannya yang kini bergantung pada perbatasan Rafah.

Raouya seharusnya menjalani transplantasi ginjal di Rumah Sakit Al-Shifa, Gaza, pada pagi hari 7 Oktober 2023. Namun, operasi itu dibatalkan karena pada hari yang sama, perang Israel di Gaza pecah setelah serangan “Badai Al-Aqsa” oleh pejuang Palestina.

Tim medis dari Eropa sebelumnya telah memeriksa kondisi Raouya selama kunjungan mereka ke Gaza dan menjadwalkan operasi transplantasi ginjal dengan donasi dari putrinya, Reem (32 tahun). Namun, dengan suara lemah, Raouya berkata, “Segalanya hancur. Hidup kami berubah drastis akibat perang ini.”

Ia menambahkan, “Sejak hari itu, kami terjebak dalam lingkaran penderitaan tanpa akhir.” Raouya dan keluarganya terpaksa mengungsi akibat agresi Israel. Setelah pasukan Israel mundur dari Khan Younis, ia kembali ke rumahnya yang sudah hancur sebagian, setelah kota itu mengalami pendudukan darat dari Desember 2023 hingga April 2024.

“Apa Salah Kami?”

Sejak September 2023, Raouya menunggu giliran untuk pergi ke luar negeri guna menjalani transplantasi ginjal. Ia mendambakan bisa kembali menjalani hidup normal, tetapi harus menghadapi penantian panjang. “Saya ini pasien. Mengapa saya harus menunggu enam bulan hanya untuk bisa berobat? Apa salah kami sebagai pasien?” tanyanya.

Raouya hanyalah satu dari sekitar 16.000 korban luka dan pasien yang masuk dalam daftar tunggu perjalanan medis melalui perbatasan Rafah. Untuk bisa keluar dari Gaza, setiap pasien harus mendapatkan izin keamanan dari Israel.

Dalam perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas, Israel seharusnya mengizinkan 150 pasien dan korban luka keluar dari Gaza setiap hari. Namun, pihak berwenang di Gaza menuduh Israel melanggar perjanjian tersebut. Dalam 35 kali daftar keberangkatan, Israel hanya mengizinkan maksimal 50 pasien keluar setiap hari.

Masalah yang dihadapi pasien gagal ginjal tidak hanya terkait dengan perjalanan medis. Raouya juga menyoroti dampak penutupan perbatasan Karm Abu Salem selama delapan hari terakhir, yang menyebabkan Gaza kehabisan pasokan makanan dan obat-obatan, sementara harga barang melonjak tajam.

Perlombaan dengan Kematian

“Tidak ada obat, tidak ada makanan sehat,” ujar Mahmoud Arabi Al-Majaydeh, seorang pasien gagal ginjal berusia 59 tahun yang duduk di samping Raouya saat menjalani cuci darah. “Kami hidup dalam bahaya. Setiap hari, situasi memburuk, dan banyak pasien yang meninggal sebelum mendapat kesempatan berobat ke luar negeri,” katanya kepada Al Jazeera Net.

Majaydeh telah menunggu selama satu tahun untuk bisa keluar dari Gaza dan menjalani perawatan di luar negeri. Ia menggambarkan kondisi rumah sakit di Gaza setelah berbulan-bulan perang dan blokade sebagai sesuatu yang “tragis.”

“Bahkan ruang tunggu pasien pun tidak tersedia. Kami harus menunggu di luar ruangan tanpa kursi atau tempat yang layak. Jumlah pasien gagal ginjal sangat banyak, tetapi mesin cuci darah sangat terbatas. Semoga Allah mengakhiri penderitaan kami,” ujarnya.

Menunggu terlalu lama hanya memperburuk kekhawatirannya. Majaydeh, yang menanggung 15 anggota keluarga, menganggap perjalanan medis ke luar Gaza sebagai “gerbang menuju kehidupan baru.” Namun, ia pesimistis. “Penantian ini sangat sulit. Saya tidak tahu mana yang akan datang lebih dulu: izin perjalanan atau kematian,” katanya.

Korban di Daftar Tunggu

Dr. Mohammad Abu Salmiya, pejabat Kementerian Kesehatan Gaza yang bertanggung jawab atas evakuasi pasien, mengatakan bahwa 5 hingga 10 pasien meninggal setiap hari saat menunggu izin perjalanan untuk berobat ke luar negeri. Ia menyebut kebijakan Israel ini sebagai “pembunuhan tidak langsung”, karena Israel memperumit prosedur izin keluar pasien melalui perbatasan Rafah.

Jumlah pasien gagal ginjal di Gaza menyusut drastis dari 1.150 pasien sebelum perang menjadi kurang dari 700 pasien saat ini. “Sekitar 40% pasien meninggal akibat pembatasan perjalanan yang diberlakukan Israel dan kurangnya layanan medis yang memadai,” kata Abu Salmiya kepada Al Jazeera Net.

Sebelum perang, pasien biasanya menjalani tiga sesi cuci darah per minggu, masing-masing berdurasi empat jam, agar mereka bisa hidup normal. Namun, akibat kekurangan mesin dan lonjakan jumlah pengungsi, sesi dialisis dikurangi menjadi dua kali seminggu, masing-masing hanya dua jam, yang jauh dari cukup.

Abu Salmiya menggambarkan sistem perjalanan medis saat ini sebagai “tidak efektif dan penuh hambatan.” Israel hanya menerima daftar 50 pasien per hari, yang harus dikirim ke pihak Mesir sebelum akhirnya diteruskan ke Israel. Namun, Israel kerap menolak beberapa nama dalam daftar tanpa alasan yang jelas.

“Jika situasi ini terus berlanjut, kita akan membutuhkan bertahun-tahun untuk mengevakuasi semua pasien yang membutuhkan pengobatan,” kata Abu Salmiya.

Israel tidak hanya melanggar kesepakatan dari segi jumlah pasien yang diizinkan keluar, tetapi juga memanipulasi prioritas medis. Mereka mengizinkan pasien dengan kondisi ringan untuk bepergian lebih dahulu, sementara pasien dengan kondisi darurat terus ditunda. Akibatnya, banyak pasien kritis yang kehilangan nyawa karena tidak mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan tepat waktu.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here