Laporan investigasi terbaru dari The Intercept mengungkap fakta mengejutkan: Israel selama bertahun-tahun menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai senjata dalam perangnya terhadap Gaza—dan strategi ini semakin intensif sejak kemenangan Hamas dalam Pemilu 2006. Taktik ini kembali diterapkan secara brutal pascaserangan 7 Oktober 2023.

Dalam laporannya, jurnalis Jonah Valdez menyoroti bahwa krisis kelaparan kini memburuk di seluruh Gaza. Satu dari lima warga Palestina menghadapi risiko kematian akibat kelaparan. Sepanjang tahun ini saja, lebih dari 9.000 anak telah dirawat karena malnutrisi. Setidaknya 29 anak dan lansia telah syahid akibat kelaparan.

“Rekayasa Kelaparan” di Gaza

Valdez mengutip Rami Abdu, Direktur Euro-Med Human Rights Monitor, yang mengungkap bahwa kebijakan pembatasan bantuan ini mengingatkan pada sebuah dokumen militer Israel tahun 2008, yang secara eksplisit menghitung “jumlah kalori minimum” yang dibutuhkan rakyat Gaza untuk bertahan hidup—tanpa mati.

“Kita sedang menyaksikan pengelolaan kelaparan, rekayasa kelaparan. Ini adalah strategi yang secara sadar digunakan untuk melayani agenda politik Israel,” ujar Abdu.

Bantuan ala Israel: Di Luar Kendali PBB, Dikawal Tentara dan CIA

Distribusi bantuan saat ini tak lagi dipegang penuh oleh PBB—yang memiliki ribuan staf di Gaza. Sebaliknya, otoritas Israel mendorong model distribusi bantuan baru melalui organisasi bernama “Humanitarian Gaza Foundation” (HGF), yang berbasis di Jenewa dan didirikan pada Februari 2025.

Meski mengklaim bertujuan menyalurkan bantuan tanpa ‘jatuh ke tangan Hamas’, lembaga ini justru dikritik keras oleh badan-badan kemanusiaan internasional, karena dianggap mendukung strategi Israel untuk mengusir warga Palestina dan membungkam jalur bantuan independen.

Yang lebih mengkhawatirkan, HGF dijaga oleh perusahaan keamanan swasta Amerika seperti SafeRidge Solutions dan UG Solutions. The New York Times bahkan melaporkan bahwa salah satu petingginya adalah mantan agen CIA, Philip Reilly—tokoh yang pernah melatih pasukan sayap kanan di Nikaragua dan aktif dalam operasi di Afghanistan pada 2001.

Runtuhnya Legitimasi, Mundurnya Direktur Eksekutif

Situasi memburuk di awal pekan ini ketika Direktur Eksekutif HGF, Jake Wood, tiba-tiba mengundurkan diri. Dalam pernyataannya, Wood mengatakan bahwa mustahil menyalurkan bantuan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kemanusiaan seperti netralitas, independensi, dan non-diskriminasi. Ia menolak menjadi bagian dari skema bantuan yang sarat tekanan militer.

Tak lama setelahnya, pusat distribusi HGF di Rafah, Gaza Selatan, menjadi lokasi tragedi. Rakyat Palestina yang kelaparan berbondong-bondong menyerbu pusat bantuan karena telah diblokade selama hampir 90 hari. Namun, tentara Israel yang menjaga lokasi malah melepaskan tembakan ke arah kerumunan. Sejumlah warga syahid, dan lainnya luka-luka.

Gagal Total: Bantuan di Bawah Moncong Senjata

Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Ismail Al-Thawabta, Direktur Kantor Media Pemerintah di Gaza, menegaskan bahwa proyek Israel untuk menyalurkan bantuan di apa yang disebut “zona aman” telah gagal total.

“Ribuan warga yang kelaparan, terkepung, dan diputus akses makanan serta obat-obatan selama lebih dari tiga bulan terakhir, akhirnya menyerbu pusat distribusi dengan tangan kosong dan perut kosong,” jelasnya.

“Mereka hanya ingin makan. Tapi yang mereka dapat justru peluru.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here