Ancaman dari Israel dan Amerika Serikat terus meningkat terhadap Gaza. Mereka mengancam akan membuka “pintu neraka” jika perlawanan Palestina tidak memenuhi tuntutan untuk membebaskan lebih banyak tawanan Israel sebelum Sabtu siang. Hingga kini, perlawanan Palestina belum memberikan tanggapan terhadap ancaman ini, sehingga muncul pertanyaan tentang bagaimana situasi akan berkembang dalam beberapa jam ke depan dan apa nasib tahap kedua dari kesepakatan pertukaran tawanan serta gencatan senjata di Gaza.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan dukungannya terhadap sikap Presiden AS, Donald Trump, serta “visi revolusionernya” mengenai Gaza. Setelah pertemuan kabinet keamanan Israel, Netanyahu mengatakan, “Jika Hamas tidak membebaskan tawanan kami pada Sabtu siang, maka gencatan senjata akan berakhir dan tentara akan kembali bertempur.”

Menurut penulis dan analis politik Ahmad Al-Hilah, cara Trump dan Netanyahu menangani kesepakatan Gaza menunjukkan bahwa mereka berupaya menggagalkannya. Trump mendorong pengusiran warga Palestina dari Gaza, yang bertentangan dengan kesepakatan yang juga melibatkan AS sebagai pihak penengah.

Dalam wawancara dengan program Masar Al-Ahdath, Al-Hilah menjelaskan bahwa ancaman Washington dan Tel Aviv untuk kembali berperang hanyalah bentuk tekanan terhadap pihak Palestina. Ia berpendapat bahwa mereka tidak akan benar-benar kembali ke medan perang karena beberapa alasan. Pertama, selama 15 bulan terakhir, strategi militer tidak memberikan hasil yang diinginkan Netanyahu. Kedua, publik Israel sendiri menolak untuk kembali ke perang. Ketiga, dari perspektif Trump, perang di Gaza dapat menyebabkan instabilitas di Timur Tengah.

Menurut Al-Hilah, sikap keras Presiden AS yang mendorong pengusiran paksa warga Palestina serta aneksasi Tepi Barat bertujuan untuk menghapus dan mengakhiri isu Palestina. Ia juga menekankan bahwa negara-negara Arab harus memberikan respons yang tegas terhadap Trump. Jika tidak, Israel akan terus memperluas ambisinya tidak hanya di Gaza dan Tepi Barat, tetapi juga ke wilayah-wilayah Arab lainnya.

Pada hari Selasa, Trump kembali menegaskan dukungannya terhadap aneksasi Israel atas Tepi Barat dalam pertemuannya dengan Raja Yordania, Abdullah II, di Gedung Putih. Ia juga berjanji akan mengendalikan Gaza dan memindahkan penduduknya dari wilayah tersebut.

Apakah Perang Akan Kembali ke Gaza?

Analis yang berfokus pada isu-isu Israel, Ihab Jabarin, meragukan bahwa perang di Gaza akan benar-benar dimulai kembali. Ia menyoroti tekanan yang datang dari keluarga tawanan Israel yang ditahan di Gaza, serta fakta bahwa perang sebelumnya gagal membebaskan mereka.

Menurut Jabarin, Netanyahu saat ini memanfaatkan dukungan dari pemerintahan AS. Ia tahu bahwa apa pun tindakan yang diambilnya akan mendapat legitimasi dan dukungan dari Washington. Selain itu, Netanyahu juga memanfaatkan tidak adanya sikap tegas dari dunia Arab dan Palestina yang terpecah, yang memungkinkan proyek ekspansi Israel terus berlanjut tanpa hambatan.

Sikap Amerika Serikat

Wakil pemimpin redaksi Washington Times, Tim Constantine, menilai bahwa tidak ada pihak yang menginginkan perang kembali terjadi, baik dari sisi Palestina, Israel, maupun bahkan Trump sendiri. Namun, ia memperingatkan bahwa jika Hamas tidak memenuhi tuntutan Trump untuk membebaskan tawanan Israel, maka konsekuensinya akan sangat serius. Ia menegaskan bahwa peringatan ini datang langsung dari “panglima tertinggi militer negara terbesar di dunia.”

Constantine mengklaim bahwa beberapa pemimpin Hamas sebenarnya tidak ingin melanjutkan tahap kedua dari kesepakatan pertukaran tawanan dan gencatan senjata di Gaza. Ia juga mengaku terkejut dengan keputusan Hamas yang menunda pembebasan tawanan Israel.

Sementara itu, juru bicara Brigade Al-Qassam, Abu Ubaida, menyatakan pada hari Senin bahwa pembebasan tawanan Israel akan ditunda hingga Israel memenuhi semua ketentuan perjanjian, termasuk kewajiban yang telah diabaikan selama beberapa minggu terakhir.

Pelanggaran Israel terhadap Kesepakatan Gencatan Senjata

Sumber yang dikutip Al Jazeera mengungkap bahwa Israel telah melanggar ketentuan kemanusiaan dalam kesepakatan gencatan senjata selama 23 hari terakhir. Salah satu bentuk pelanggaran tersebut adalah mencegah masuknya 50 truk bahan bakar per hari ke Gaza. Dalam 23 hari terakhir, jumlah bahan bakar yang masuk hanya mencapai kurang dari 50% dari yang telah disepakati.

Selain itu, pasokan tenda untuk pengungsi juga sangat terbatas. Dari 200.000 tenda yang dijanjikan, hanya 53.047 unit yang berhasil masuk ke Gaza. Sementara itu, tidak satu pun dari 60.000 kontainer tempat tinggal yang dijanjikan telah dikirimkan ke wilayah tersebut.

Ahmad Al-Hilah menegaskan bahwa Hamas telah menyatakan berkali-kali bahwa mereka berkomitmen terhadap kesepakatan yang telah dibuat. Penundaan pembebasan tawanan Israel bertujuan untuk menekan mediator agar memastikan Israel mematuhi perjanjian tersebut.

Ia juga mengingatkan bahwa Hamas sebelumnya telah menawarkan pertukaran tawanan dengan prinsip “semua tawanan dibebaskan untuk semua tawanan”. Namun, Netanyahu menolak tawaran tersebut. Kini, Trump justru mengajukan tuntutan yang sama, meminta Hamas untuk segera membebaskan semua tawanan Israel sekaligus.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here