Serangan demi serangan dari pejuang Palestina di Gaza semakin intens dalam beberapa hari terakhir. Sementara itu, suara-suara dari dalam tubuh militer Israel sendiri mulai memperingatkan bahwa Hamas kini bergerak lebih berani dengan pola perang gerilya yang bisa mempermalukan pasukan pendudukan di garis depan.

Kamis malam (25/4), militer Israel mengumumkan bahwa salah satu komandan tank dari Batalion 79 tewas dalam pertempuran di Gaza utara. Selain itu, satu personel unit elite Yahalom dan seorang prajurit dari batalion yang sama mengalami luka serius.

Surat kabar The Times of Israel melaporkan bahwa korban tewas ditembak oleh sniper pejuang di Beit Hanoun, dekat salah satu pangkalan militer di zona penyangga.

“Kami Tidak Akan Diam”: Janji Pejuang Palestina

Analis politik Iyad al-Qarra menilai bahwa setiap operasi perlawanan kini menggema kuat di tengah rakyat Palestina—sebagai respons atas genosida brutal yang dilakukan militer Israel, khususnya lewat kebijakan “sabuk api” di utara dan selatan Gaza.

Dalam wawancaranya dengan program Masar al-Ahdats, al-Qarra menegaskan bahwa operasi-operasi ini adalah wujud nyata dari janji perlawanan: “Kami tidak akan biarkan pasukan pendudukan bergerak sesuka hati.”

Menurutnya, gencarnya serangan terhadap Israel lahir dari keyakinan bahwa Tel Aviv tak pernah sungguh-sungguh menginginkan kesepakatan damai, dan justru terus menggempur Gaza.

Maka bagi para pejuang, ini jadi alasan sah untuk melanjutkan serangan, meski mereka tetap menunjukkan fleksibilitas soal isu tawanan dan jalur gencatan senjata.

Al-Qarra juga meyakini bahwa operasi ini akan membuktikan kegagalan militer Israel di Gaza.

“Mereka takkan berani memperluas invasi darat karena khawatir kehilangan lebih banyak nyawa tentaranya,” ujarnya.

Israel Ketar-Ketir Hadapi Strategi Baru Pejuang

Media Israel Walla mengutip sumber militer yang menyatakan bahwa tentara Israel kini memperkuat pertahanan di zona penyangga. Mereka mencemaskan peningkatan eskalasi dari Hamas, yang diperkirakan akan mengadopsi strategi gerilya lebih masif.

Sementara itu, pakar militer Yordania, Mayjen (Purn) Fayez al-Duwairi, mengatakan bahwa karakter operasi perlawanan telah berubah. Kini mereka bergerak di zona yang secara teknis dikuasai Israel namun pasukannya hanya bersifat defensif dan tidak aktif menyerang.

Duwairi memperkirakan bahwa Kepala Staf Israel, Jenderal Eyal Zamir, bisa saja berpindah dari strategi bertahan ke manuver agresif, tergantung bagaimana dia menilai sebaran kekuatan perlawanan.

Namun dalam kunjungan militernya ke Gaza, Zamir hanya mengulang ancaman lama: memperluas serangan jika tak ada kemajuan dalam isu tawanan.

Netanyahu Terjepit, Pemukim Israel Lelah Perang

Analis urusan Israel, Muhannad Mustafa, menilai bahwa Zamir dan elite militer Israel sadar bahwa memperpanjang perang justru akan menguras biaya dan tenaga.

Apalagi, tentara cadangan sulit direkrut dan publik Israel mulai kehilangan kepercayaan.Mustafa menegaskan: “Masyarakat Israel kelelahan oleh perang yang tak kunjung usai. Mereka sudah terlalu lama menerima korban dan kehancuran demi janji kosong Netanyahu soal ‘kemenangan mutlak’.”

Menuju Jalan Politik?

Menurut Duwairi, lebih dari 70% wilayah Gaza kini bebas dari kehadiran militer Israel. Jika tren ini berlanjut, katanya, bukan tak mungkin elite politik dan militer Israel akan mulai melirik opsi diplomasi, meski bertahap.

Muhannad Mustafa juga melihat sinyal ke arah itu. Salah satunya, penunjukan langsung Kepala Mossad David Barnea untuk pergi ke Doha, menggantikan Menteri Strategi Ron Dermer.

“Itu sinyal positif bahwa Israel ingin keluar dari kebuntuan,” katanya.

Kunjungan ini datang setelah Perdana Menteri Qatar menemui Presiden AS di Washington, dan seiring dengan tekanan internasional yang terus meningkat terhadap Israel soal bantuan kemanusiaan ke Gaza dan keterbatasan mereka memperluas operasi militer.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here