Spirit of Aqsa- “Malam gelap di Gaza, tanpa makanan, bahan bakar, air, listrik, dan internet, serta disertai serangan udara tanpa henti. Inilah yang terjadi setiap malam di Gaza,” ungkap jurnalis Palestina Mahmoud Zaki Al-Amoudi dalam unggahan di platform X, menggambarkan penderitaan yang dialami warga Gaza sejak dimulainya serangan Israel.
Bagi warga Gaza, malam telah menjadi waktu yang paling menakutkan sejak perang dimulai. Ungkapan “Datangnya malam, datangnya ketakutan” pun menjadi frasa umum di tengah mereka dan banyak dibagikan di media sosial.
Sejak 7 Oktober 2023, militer Israel – didukung penuh oleh Amerika Serikat – telah melancarkan serangan masif yang menewaskan lebih dari 144 ribu warga Palestina dan mencederai puluhan ribu lainnya, sebagian besar di antaranya anak-anak dan perempuan. Korban hilang mencapai lebih dari 10 ribu orang, sementara kelaparan telah merenggut nyawa puluhan anak dan lansia, menciptakan krisis kemanusiaan yang mengerikan.
Melalui sebuah video, seorang aktivis Palestina memperlihatkan seorang ibu yang berusaha menenangkan dua anaknya di tengah serangan udara. Ia menulis, “Inilah keadaan kami setiap hari di Gaza, di mana para ibu tidur dengan pakaian salat, dan anak-anak sulit terlelap, terus menangis tanpa henti.”
Malam yang Menyerupai Film Horor
Jurnalis Palestina, Ola Attallah, dalam unggahannya pada 16 November 2023, menggambarkan malam di Gaza layaknya film horor. “Kegelapan pekat, disertai suara ledakan bom dan serangan udara, serta angin dan hujan lebat menambah kengerian malam hari,” tulisnya. Tak lama setelah itu, pada 8 Desember 2023, Attallah dan keluarganya syahid dalam serangan udara yang menghancurkan rumah mereka.
Di Jabalia, seorang ibu bernama Umm Salah bercerita tentang perjuangannya menahan ketakutan demi anak-anaknya. “Setiap malam, anak-anak saya terbangun berkali-kali karena ledakan. Mereka bahkan bisa mengenali suara rudal F-16 atau mortir,” katanya.
Kegelapan Tanpa Akhir
Pengacara dan aktivis hak asasi manusia, Marwan Al-Barsh, menyebut malam di Gaza, khususnya di Jabalia, sebagai “mimpi buruk” tanpa cahaya atau listrik. Ia menggambarkan situasi di mana ledakan datang seperti hujan di tengah malam yang sunyi.
Mulai dari Maghrib hingga pukul enam pagi, warga Gaza nyaris tak bisa keluar dari tempat tinggalnya. “Siapa pun yang berani keluar saat malam akan langsung menjadi sasaran serangan drone,” ungkap Al-Barsh.
Al-Barsh menambahkan bahwa setiap malam, warga Gaza diliputi ketakutan akan serangan yang bisa menghantam kapan saja.