Meski perang telah berlangsung selama 22 bulan, Israel justru meningkatkan nada ancamannya terhadap Jalur Gaza, baik secara politik maupun militer. Hal ini terjadi karena perlawanan Palestina tetap bersikukuh dengan tuntutannya dalam perundingan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan.
Di tengah meningkatnya serangan dan operasi kompleks yang dilancarkan oleh perlawanan Palestina di lapangan, juru bicara militer Israel, Efi Dverin, menyatakan bahwa militer telah menyiapkan rencana untuk melanjutkan pertempuran dan akan menyampaikannya kepada para pengambil keputusan politik.
Surat kabar Yedioth Ahronoth mengutip sumber-sumber yang mengatakan bahwa operasi militer di Gaza akan memasuki fase “eskalasi yang lebih besar” jika tidak ada kemajuan dalam perundingan. Seorang pejabat senior Israel kepada surat kabar itu menyatakan bahwa militer Israel akan menciptakan “ancaman militer nyata di wilayah-wilayah tertentu” dengan harapan dapat mendorong tercapainya kesepakatan parsial.
Surat kabar itu juga menyebutkan kemungkinan adanya koordinasi di balik layar antara Israel dan Amerika Serikat guna meningkatkan tekanan terhadap Gerakan Perlawanan Islam (Hamas).
Kebuntuan Ganda
Namun di balik manuver ini tersembunyi kebuntuan politik dan militer yang tengah dihadapi Israel di Jalur Gaza. Hal ini tercermin dari meningkatnya strategi kelaparan dan pembunuhan massal terhadap warga sipil, menurut pengamat urusan Israel, Muhannad Mustafa.
Dalam wawancaranya bersama program “Masar al-Ahdats” (Arah Peristiwa), Mustafa menegaskan bahwa secara strategis, militer pendudukan tidak memiliki pilihan efektif untuk memaksa Hamas menerima syarat-syarat Israel dalam perundingan.
Operasi militer besar seperti “Gerobak Gideon” yang diluncurkan pada Mei lalu dinilai sebagai puncak kekuatan militer Israel dalam perang ini, namun tetap gagal mencapai hasil. Bahkan, masyarakat Israel sendiri mulai melihat bahwa perang ini menjadi sia-sia dan tanpa arah.
Peneliti politik Said Ziyad juga meragukan kemampuan Israel menaklukkan perlawanan Palestina melalui ancaman militer baru. Ia menunjukkan bahwa penyergapan dan perlawanan di Beit Hanoun (utara) dan Rafah (selatan) menunjukkan kegagalan militer pendudukan mengendalikan Gaza.
Menurut Ziyad, terus bertambahnya korban di kalangan tentara Israel di Rafah dan Beit Hanoun adalah bukti kuat bahwa jalur militer tidak mampu menundukkan Gaza. Oleh karena itu, akhir dari operasi militer besar Israel kini tampak semakin dekat. Meski begitu, tujuan utama Israel tetaplah menghapuskan perjuangan Palestina dengan slogan “menghabisi perlawanan”, melucuti senjatanya, menerapkan pemerintahan militer di Gaza, dan memaksakan pengusiran massal terhadap penduduknya.
Dukungan Langsung dari AS
Namun perlawanan Palestina tampaknya mulai memahami dinamika baru di medan pertempuran. Menurut pakar militer Ahmad al-Sharifi, militer pendudukan kini berusaha bergerak lebih jauh guna menguasai langsung wilayah dan menerapkan pengepungan penuh.
Israel berusaha memaksakan dua realitas sekaligus terhadap Hamas: pertama, perundingan di bawah desingan peluru, dan kedua, perundingan di bawah blokade. Hal ini diwujudkan melalui operasi pengintaian yang semakin masif. Menurut al-Sharifi, tujuan operasi ini tidak lagi bersifat taktis, melainkan bagian dari strategi besar untuk mengelola krisis secara jangka panjang.
Namun peningkatan serangan perlawanan terhadap unit-unit pengintai menunjukkan bahwa Israel belum berhasil membentuk basis data dan bank target baru. Ini menjadi sinyal bahwa strategi pendudukan yang didasarkan pada penjajahan dan pengepungan kemungkinan akan gagal.
Al-Sharifi meyakini bahwa Presiden AS Donald Trump telah memberi “lampu hijau” untuk membantu membangkitkan kembali semangat militer Israel, yang saat ini mengalami kelelahan dan krisis moral. Dukungan ini diberikan agar Israel dapat melanjutkan agresinya dan mewujudkan target-target strategisnya bersama Amerika Serikat di Gaza.
Di sisi lain, analis strategis dari Partai Republik AS, Adolfo Franco, melihat bahwa serangan balasan Palestina justru memperkuat posisi politik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Menurutnya, serangan-serangan itu menunjukkan bahwa perang belum usai, dan memperkuat narasi bahwa Hamas harus dilenyapkan dan para pemimpinnya diasingkan ke luar negeri.
Menurut Franco, Hamas kini berupaya mengumpulkan kembali kekuatan dan menyusun ulang barisannya untuk melanjutkan perang. Namun ia memperkirakan bahwa pada akhirnya akan tercapai kesepakatan gencatan senjata, namun dengan jaminan keamanan penuh bagi Israel.
Presiden Trump sendiri baru-baru ini menyatakan bahwa ia “tidak tahu apa yang akan terjadi di Gaza”, dan menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Israel. Sementara itu, Netanyahu (yang kini menjadi buronan Pengadilan Pidana Internasional karena tuduhan genosida di Gaza) menyatakan bahwa ia akan terus bernegosiasi sambil melanjutkan operasi militer demi “menghabisi Hamas” dan membebaskan tawanan Israel.
Sumber: Al Jazeera