Setelah dipulangkan secara paksa oleh otoritas Israel, jurnalis Al Jazeera yang berbasis di Paris, Muhammad Al-Buqali, akhirnya tiba kembali di Bandara Charles de Gaulle. Ia merupakan bagian dari kru kapal Handala, sebuah misi sipil yang berlayar dari Pelabuhan Gallipoli, Italia, menuju Gaza dalam upaya memecah blokade brutal yang telah mencekik wilayah itu selama bertahun-tahun.

Namun, sebelum mencapai tujuannya, kapal mereka dicegat di perairan internasional oleh angkatan laut Israel. Penyerbuan itu berlangsung cepat dan penuh kekerasan, dilanjutkan dengan interogasi yang kasar dan penahanan di bawah tekanan.

Menurut Al-Buqali, momen penyerbuan sudah mereka perkirakan. Kru segera mengenakan jaket pelampung dan mengumumkan mogok makan sebagai bentuk protes. Mereka menolak menjadi bagian dari propaganda militer Israel yang kerap menampilkan pemberian air dan makanan kepada tahanan sebagai pencitraan kemanusiaan palsu.

Berbicara kepada Al Jazeera Net, Al-Buqali menegaskan bahwa misi ini bukanlah pelanggaran batas wilayah, melainkan panggilan nurani: sebuah seruan moral untuk memecah kebisuan dunia terhadap genosida yang terjadi di Gaza. Mereka tidak membawa senjata, melainkan membawa narasi, sebuah kesaksian yang membongkar kebungkaman dunia terhadap kejahatan.

Selama sekitar 12 jam pelayaran, kapal Handala dibayangi oleh 8 hingga 10 kapal perang. Setibanya di Pelabuhan Ashdod, para peserta disambut dengan perlakuan kasar dari polisi dan aparat keamanan Israel. Sejak langkah pertama, aroma penghinaan sudah menyengat.

Di tengah kekacauan itu, para aktivis tetap lantang menyerukan, “Free Palestine!” Teriakan ini memancing amarah para serdadu. Amarah militer itu segera berubah menjadi aksi intimidasi personal, ancaman, tekanan psikologis, dan interogasi yang tidak manusiawi.

Sikap Permusuhan Tanpa Batas

Al-Buqali mencatat bahwa para aktivis dari luar dunia Arab, terutama seorang warga Amerika keturunan Afrika, mengalami perlakuan yang sangat kejam. Semua tahanan (tanpa terkecuali) dipaksa bertahan di sel sempit, dengan akses sangat terbatas bahkan untuk kebutuhan dasar. Mereka tak diizinkan berkomunikasi ke luar, dan saat ke kamar mandi pun harus di bawah pengawasan kamera, dengan pintu sel terbuka.

Tuduhan yang mereka hadapi pun menggelikan. Al-Buqali menyebutnya “absurd”, mereka dituduh membawa narkoba dan terafiliasi dengan organisasi teroris. Padahal, misi mereka sepenuhnya bersifat kemanusiaan dan dijalankan secara terbuka.

Meski beberapa aktivis akhirnya dibebaskan (termasuk Al-Buqali, fotografer Al Jazeera, anggota parlemen Prancis Gabrielle Katella, dan dua warga negara Amerika dan Italia) nasib 14 aktivis lainnya masih belum jelas. Informasi simpang siur dan upaya bungkam terus berlanjut.

Dalam seruannya, Al-Buqali meminta pembebasan segera rekan-rekannya yang masih ditahan di Penjara Givon. Beberapa di antaranya masih melanjutkan mogok makan sebagai bentuk perlawanan terhadap deportasi paksa dan praktik penahanan sewenang-wenang.

Menurutnya, sejak awal hingga akhir, perlakuan Israel menunjukkan niat nyata untuk membungkam para saksi. Mereka ingin agar kisah ini tidak pernah terdengar dunia. Tapi bagi Al-Buqali, kisah ini lebih kuat daripada blokade. Dan ia akan menembus tembok kebisuan itu.

“Handala” Belum Tiba di Gaza, Tapi Telah Menyentuh Hati Dunia

Bagi Al-Buqali, pemulangan paksa ini bukanlah akhir. “Apa yang terjadi bukanlah penutup, tapi awal dari kisah yang lebih besar,” ujarnya. Kapal “Hanzala” mungkin tak menginjak pantai Gaza, tapi ia berhasil membawa dunia selangkah lebih dekat ke penderitaan rakyat di sana. Ia telah menyingkap apa yang selama ini ditutup-tutupi.

Sementara itu, dampak dari insiden ini masih terus bergulir. Koalisi “Sumud” kini bersiap meluncurkan armada sipil terbesar dengan partisipasi kapal dari 39 negara. Sebuah langkah simbolik, tapi sarat makna, untuk kembali menantang blokade.

Inisiatif ini bukan sekadar pelayaran; ia adalah perlawanan damai. Sebuah jeritan kolektif dari hati nurani umat manusia atas keheningan memalukan para pemimpin dunia terhadap kejahatan perang di Gaza.

Lembaga HAM Adalah menegaskan bahwa semua aktivis menolak deportasi cepat dan memilih menghadapi proses hukum demi membuktikan legitimasi aksi mereka. Mereka tetap melanjutkan mogok makan meski berada dalam jeruji besi.

Al-Buqali mengakhiri kesaksiannya dengan satu penegasan penting, perjuangan ini tak lagi hanya soal memecah blokade laut, tapi juga membongkar tembok kebisuan global. Ini adalah perjuangan untuk menyelamatkan suara saksi, dan martabat kemanusiaan.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here