Gaza kembali berdarah, namun kali ini bukan oleh peluru, melainkan oleh kelaparan yang disusupkan perlahan ke dalam tubuh-tubuh mungil yang belum genap setahun usianya. Lebih dari 40 ribu bayi di Gaza kini berada di ambang kematian perlahan. Pemerintah setempat memperingatkan, mereka tak punya akses ke susu formula sejak 150 hari terakhir, akibat blokade kejam yang diberlakukan Israel.
Dalam pernyataan resminya, Kantor Media Pemerintah di Gaza menyatakan bahwa wilayah tersebut kini berada di tepi jurang bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Kami menghadapi kematian yang sunyi, tapi menyakitkan. Setiap botol susu yang tidak diizinkan masuk, bisa berarti satu nyawa yang direnggut,” tulis mereka.
Gaza menuntut dunia untuk membuka jalur bantuan segera, tanpa syarat, dan memastikan masuknya susu formula dan bantuan kemanusiaan lainnya. “Kami tidak hanya menyalahkan Israel. Negara-negara yang turut serta dalam genosida ini, dan dunia internasional yang memilih bungkam, turut bertanggung jawab atas setiap nyawa yang melayang karena kelaparan yang disengaja ini.”
Ilusi Bantuan, Realitas Kelaparan
Pagi tadi, UNICEF kembali menegaskan bahwa seluruh warga Gaza kelaparan. Namun, mereka menyebut bahwa anak-anaklah yang paling merasakan derita, karena kebutuhan dasar mereka direnggut sejak hari pertama.
Militer Israel mengklaim telah menjatuhkan bantuan kemanusiaan lewat udara dan melakukan “penghentian taktis” operasi militer di beberapa titik. Tapi banyak lembaga kemanusiaan menilai langkah ini hanya ilusi. Di balik manuver citra itu, blokade tetap diberlakukan sejak Maret lalu. Jalur bantuan tetap tertutup. Sementara itu, kelaparan tetap menjadi senjata yang paling efektif untuk membunuh tanpa peluru.

Tangisan Ibu, Lapar yang Tak Bisa Dielakkan
Pakar kesehatan dari Yordania, Dr. Utsman Shomadi, menyoroti sisi lain dari tragedi ini, lebih dari 17 ribu ibu menyusui kini mengalami anemia dan tidak bisa lagi memproduksi ASI. “Bayi-bayi itu kini tak punya sumber makanan sama sekali. Para ibu bahkan rela mengorbankan nyawanya demi tetap bisa menyusui,” ungkapnya kepada Al Jazeera.
Data bulan Juli menunjukkan, lebih dari separuh kematian akibat kelaparan dan malnutrisi justru dialami oleh orang dewasa. Sebanyak 46 pria dan wanita meregang nyawa. Shomadi menekankan, “Bagi bayi, susu bukan hanya kebutuhan, tapi syarat hidup. Tanpa itu, mereka akan mati perlahan.”
Diperkirakan, lebih dari 40 ribu bayi di bawah usia enam bulan memerlukan setidaknya 6 kaleng susu per bulan, totalnya mencapai 250 ribu kaleng setiap bulan. Jika dihitung bersama balita di bawah usia dua tahun, angka kebutuhan itu melonjak menjadi 800 ribu kaleng per bulan. Namun saat ini, bahkan kacang-kacangan dan makanan pokok pun lenyap dari pasar. Hanya tepung yang tersisa, yang tak cukup untuk mengembalikan massa otot atau menumbuhkan tubuh yang layu.
“Ini bukan soal lapar semata,” kata Shomadi. “Ini tentang kematian massal yang sedang berjalan pelan, di hadapan dunia yang memilih memalingkan muka.”