Spirit of Aqsa, Palestina- Di dalam rumah yang menunjukkan tanda-tanda kehancuran, Etaf memeluk anak-anak dan saudara perempuan untuk pertama kalinya sejak dipenjara dua tahun lalu. Dinding rumah tersebut dibongkar oleh tentara teroris Israel menggunakan bom sekira satu setengah tahun lalu di kota Silat al-Harithiya, sebelah barat kota Jenin.
Jaradat menjadi salah satu tahanan Palestina yang dibebaskan berkat perjanjian gencatan senjata.Sekelompok besar orang berkumpul di rumahnya untuk menyampaikan ucapan selamat kepada keluarga Jaradat pada Selasa (28/11) saat Ataf pulang.
Kisah Jaradat dimulai ketika pasukan Israel menangkapnya di Kota Silat al-Harithiya, sebelah barat Jenin, dua tahun lalu. Dia ditangkap dari dalam rumahnya sendiri.
Setelah interogasi yang panjang dan keras, dia dipindahkan ke penjara Damoun. Dia menghadapi hukuman penjara berkisar antara 7 hingga 15 tahun, dengan tuduhan menyembunyikan putra-putranya yang melakukan operasi perlawanan di dekat pemukiman Homesh, selatan Jenin.
Kondisi Penahanan yang Keras
Jaradat dituduh menyetujui perlawanan putranya Omar dan Ghaith, dan menggunakan media untuk mendukung hal tersebut. Dia lalu ditangkap, rumahnya dibongkar, lalu dipenjara.
“Penyelidik bertanya kepada saya ‘mengapa Anda tidak mengatakan bahwa Anda mengetahui apa yang dilakukan Omar dan Ghaith’. Saya menjawabnya, ‘Bagaimana Anda meminta saya melaporkan anak-anak saya?’” Kata Jaradat.
Jaradat menjelaskan kondisi penahanan yang sangat keras. Itu karena ketiga anak dan saudara laki-laki juga dipenjara. Saat di penjara pun, dia mendengar kabar tentang pembongkaran rumahnya yang sudah ditempati selama bertahun-tahun.
Sebelum penangkapan Jaradat, pasukan Israel menangkap ketiga putranya. Namun putranya, Montaser Billah, dibebaskan sekitar sebulan yang lalu. Sementara, Omar serta Ghaith menjalani hukuman seumur hidup.
“Penjara melelahkan dan sangat sulit. Saya menjalani hari-hari yang tak tertahankan, terutama ketika saya mengetahui bahwa rumah saya telah dibongkar, dan beberapa saat kemudian, rumah putra saya Omar dihancurkan oleh pasukan pendudukan,” ujar Jaradat.
Pertemuan yang Berat
Jaradat mengatakan salah satu momen terberat yang dia alami selama dipenjara adalah saat menerima surat tulisan tangan dari Ghaith, yang ditempatkan di sel Cubs.
Ghaith meminta maaf kepada Jaradat karena merasa bertanggungjawab atas penangkapan hingga pembongkaran rumah. Jaradat sama sekali tidak marah. Dia bahkan merasa yakin akan bebas.
“Kita semua akan keluar dari sini, Ghaith. Ini adalah kepastianku pada Allah, jadi jangan khawatir, dan jangan salahkan dirimu sendiri. Aku sangat bangga padamu,” kata Jaradat.
Jaradat menggambarkan momen paling berat saat bertemu anak-anaknya di pengadilan. Dia tak bisa menahan air mata. Apalagi, dia tidak diperkenankan untuk mendekati, memegang, berbicara apalagi memeluk anak-anaknya.
“Aku berteriak di ruang sidang agar mereka mendengar suaraku. Aku berusaha menguatkan tekad mereka,” ujar Jaradat.
Pengalaman Penjara Ramla
Selama penangkapannya, Jaradat dipindahkan ke klinik penjara Ramla, ditemani oleh salah satu tahanan yang terluka. Ataf tinggal di sana selama tiga bulan.
Selama itu dia menyaksikan kondisi para tahanan yang sakit, penderitaan mereka, dan penganiayaan yang dilakukan teroris Israel terhadap mereka ketika berada di tempat tidur.
“Penderitaan yang saya lihat di sana tidak dapat digambarkan. Sel tersebut berukuran dua kali satu meter, dan ditutup dengan dua pintu besi. Di dalamnya terdapat sebuah tempat tidur untuk para tahanan wanita yang terluka dan tempat tidur untukku,” tuturnya.
“Aku melihat para tahanan yang terluka. Ada yang kakinya terpotong, dan ada yang lumpuh dan tidak bisa bergerak. Saya melihat Walid Daqqa, tahanan Asif al-Rifai, dan Samer Abu Diak,” ungkap Jaradat.
Penindasan dan Pelecehan
Sejak 7 Oktober, Jaradat dan tahanan wanita lain di Penjara Damoun menjadi sasaran penindasan dan pelecehan. Unit represi memasuki bagian penjara dan menyerang tahanan wanita dengan memukuli mereka dan menyemprot mereka dengan gas merica.
Sipir Israel juga merampas peralatan memasak, sepatu, selimut, dan kebutuhan pokok pribadi para tahanan. Sementara itu, sipir penjara memukuli Jaradat dan diisolasi selama tiga hari.
“Kondisi penjara menjadi lebih sulit setelah 7 Oktober. Kami menjadi sasaran penindasan lebih dari satu kali, dan gas merica disemprotkan ke dalam kamar tahanan. Tentu saja, tidak ada komunikasi dengan keluarga kami atau siapa pun di luar penjara,” ujar Jaradat.
Terakhir, Jaradat mendoakan para pejuang Palestina agar bisa melakukan perlawanan hingga Palestina merdeka.
“Kami berdoa kepada Allah agar memberi mereka kemenangan dan pertolongan, serta melindungi perlawanan. Saya berdoa untuk mereka dalam setiap sujud kepada saya, Insya Allah, semoga Allah memberikan kemenangan kepada Gaza,” ungkap Jaradat.
Sumber: Al Jazeera