Malam belum lama tiba ketika sinyal darurat menyala: sebuah serangan artileri Israel menghantam sebuah apartemen di lingkungan At-Tuffah, wilayah utara Gaza. Tanpa menunda, satu tim medis beranggotakan tiga orang dan seorang jurnalis menuju lokasi.

Dalam gelap total akibat listrik yang terputus, mereka menaiki gedung dengan hanya berbekal senter, menembus jerit anak-anak dan perempuan yang belum sempat lari menyelamatkan diri.

Sementara itu, sang sopir ambulans siaga di luar dengan lampu darurat menyala, siap melaju ke rumah sakit begitu tim kembali.

Namun beberapa menit setelah proses evakuasi dimulai, peluru artileri kedua menghantam gedung. Suara sirene berubah jadi hening yang mengerikan. Batu dan puing beterbangan. Asap dan bau mesiu memenuhi udara. Nasib para penyelamat yang ada di dalam bangunan pun menjadi tanda tanya.

Anak dan Rekan Gugur Bersama

Tak lama kemudian, sopir ambulans yang panik menghubungi Kepala Unit Gawat Darurat Layanan Medis Gaza, Faris Afanah, yang segera datang ke lokasi bersama tim tambahan.

Tapi situasi terlalu berbahaya, memaksa mereka mundur. Hati Afanah diliputi kegelisahan. Putranya, Baraa, termasuk dalam tim yang masuk ke gedung itu. Ia menunggu fajar dengan perasaan campur aduk, berharap keajaiban.

Pagi pukul 06.30, Faris kembali ke lokasi. Di antara reruntuhan yang masih mengepulkan asap, mereka menemukan tubuh para petugas medis dalam keadaan hancur.

Rudal Israel menghantam tepat sasaran, menjadikan mereka syahid. Baraa, putra tercinta, turut menjadi korban, bersama dua rekannya.

“Sejak perang ini dimulai, kami bekerja dalam bayang-bayang kematian,” kata Afanah lirih.

“Kami tahu, setiap misi bisa jadi yang terakhir.”

Ia berbicara tak lama setelah menguburkan anak dan rekan-rekannya, lalu kembali bekerja, karena serangan udara Israel di Gaza belum berhenti.

Yang menyayat hati, Afanah menunjukkan foto timnya malam itu: mereka berpose bersama menjelang Idul Adha, seolah tahu itu pertemuan terakhir mereka.

“Kami tetap bertahan. Ini misi kemanusiaan yang dijamin hukum internasional. Tapi Israel menjadikan kami target.”

Target Nyata: Lenyapkan Harapan Hidup

Duka mendalam menyelimuti seluruh tim medis. Tapi mereka tak punya waktu untuk larut. Meski sebagian besar rumah sakit hancur, bahan bakar ambulans terputus, dan peralatan minim, mereka tetap berjibaku menyelamatkan nyawa.

Afanah mengenang awal serangan besar Oktober lalu, saat Israel memblokade wilayah Gaza utara dan membakar kendaraan ambulans serta armada pemadam kebakaran.

“Mereka ingin mematikan semua upaya penyelamatan. Tanpa ambulans, tanpa rumah sakit, tak ada harapan bertahan,” tegasnya.

Kini tantangan makin berat: jaringan komunikasi juga diputus. Masyarakat tak bisa menghubungi pusat gawat darurat. Tim medis hanya bisa melacak lokasi serangan dari suara ledakan dan asap di langit.

Dari Penjara ke Medan Perang

Salah satu yang masih bertahan di lapangan adalah Hatim Al-Ajrami, seorang paramedis yang baru saja dibebaskan dalam pertukaran tahanan pada Februari lalu. Ia ditangkap saat berada di RS Kamal Adwan, 25 Oktober 2023.

Selama empat bulan di penjara Israel, ia mengalami penyiksaan brutal: dipaksa telanjang, diborgol berhari-hari, dan diinterogasi karena “menyelamatkan nyawa”.

Kini ia kembali menjalankan tugas. “Saya tak bisa melupakan saat harus mengangkat jasad rekan-rekan saya sendiri dari reruntuhan,” katanya.

“Namun kami tetap harus berlari ke titik-titik serangan lain. Kadang, dalam satu waktu ada lebih dari satu lokasi yang perlu ditangani.”

Data yang Membungkam Hati

Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sejak awal agresi hingga kini:

1.580 petugas medis gugur, 362 ditahan, 38 rumah sakit dan 82 pusat layanan kesehatan dihancurkan,144 ambulans dibom atau dirusak.

Di bawah bombardir tanpa henti, para petugas medis Gaza tetap berdiri, tidak dengan senjata, tapi dengan tandu dan perban. Meski kehilangan anak, rekan, bahkan tubuh mereka sendiri, mereka memilih tetap hidup untuk menyelamatkan nyawa yang lain.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here