Spirit of Aqsa, Palestina – Setiap pagi Al-Fatih dan Abdul Rahman duduk menghadap dinding. Tampak foto seorang ibu tersenyum kepada kedua anak itu. Namanya Aya Al-Khatib, seorang warga Palestina. Aya telah berada di penjara Israel selama lebih satu tahun tanpa jadwal persidangan yang pasti.

Fatih dan Abdul Rahman hanya bisa mencium foto ibu mereka. Kertas berukuran besar yang melukis wajah Aya tersebar di semua dinding rumah. Keduanya membayangkan seolah-olah sang ibu terus memperhatikan dan mengawasi selama berada di rumah.

Walau begitu, itu hanya sebuah gambar. Kerinduan bisa saja terobati, tapi tak seutuhnya sembuh. Gambar tetaplah gambar. Foto tersebut memang tersenyum, tapi tak mengeluarkan suara, tidak ada intruksi yang dibarengi kasih sayang seorang ibu. Gambar statis yang tidak bisa berbicara. Sebuah penderitaan psikologis bagi anak-anak Palestina.

Suami Aya, Omar Aki, mencoba memainkan dua peran sekaligus. Kadang kala ia harus tegas sebagai seorang ayah, tapi pada sisi lain Omar harus lembut penuh kasih layaknya seorang ibu. Dia meninggalkan pekerjaan demi memberikan kasih sayang kepada kedua anaknya. Kendati begitu, dia tak patah arang dan terus berusaha memenuhi kebutuhan pokok keluarga kecilnya itu.

Ketidakhadiran salah satu anggota keluarga menyebabkan ketidakseimbangan. Terlebih jika yang tak ada adalah tiang utama dalam rumah tangga alias ibu. Kehilangan sosok ibu secara emosional sangat berpengaruh bagi seorang anak. Pekerjaan rumah memang bisa digantikan, tapi kelembutan hati seorang ibu tidak akan pernah bisa tergantikan.

Tidak mudah bagi Omar untuk memenuhi dua peran ini. Itu menuntut dia mempelajari banyak keterampilan yang belum ia kuasai. Semua itu ia lakukan untuk menciptakan rasa aman dan rasa nyaman untuk kedua anaknya.

Sementara, Aya al-Khatib masih menjalani proses pengadilan yang panjang dan membosankan. Dia menjadi sasaran penyelidikan yang keras di awal penahanan. Dia ditangkap karena mengajak masyarakat berdonasi di salah satu laman media sosial miliknya untuk kepentingan anak-anak di Jalur Gaza. Donasi itu akan digunakan untuk perawatan anak-anak di rumah sakit Gaza.

Aya kadang menangis saat melihat pasien kanker di dalam penjara yang tak mendapat tindakan medis dari pengelola penjara Israel. Layaknya seorang ibu dan perawat, perasaannya sangat lembut saat melihat orang sakit. Perasaan itu seolah menyiksa Aya tiap hari. ia melihat orang menderita, tapi tak mampu menolong. Itu mengulik rasa kemanusiaan.

Kondisi yang sulit

Aya Al-Khatib bukan satu-satunya tahanan wanita di penjara pendudukan, karena 12 dari 34 tahanan wanita berada di penjara. Di sana ada Israa Al-Jaabis telah dijatuhi hukuman 11 tahun penjara yang sebenarnya. Terdapat dua narapidana wanita yang menjadi sasaran penahanan administratif, yaitu Shorouk Al-Badal dan Al-Khatam Al-Sa’afeen.

Ketua Komite untuk Tahanan Rakyat Yerusalem, Amjad Abu Asab, menegaskan, para narapidana wanita menderita karena diabaikan dalam semua aspek kehidupan. Penjajah Israel juga memeras para aktivis yang membela hak para tahanan mengenai data para tahanan.

Dia menjelaskan, hak-hak para tahanan wanita itu dibatasi. Penjajah bahkan memasang CCTV di setiap sudut penjara. Mereka juga dilarang berbicara dengan pengacara. Hal paling menyakitkan adalah tidak boleh ada buku bacaan dan benda-benda apapun dari luar penjara.

Abu Asab mengatakan, penjajah memanfaatkan virus Corona untuk mencegah kunjungan kepada para tahanan. Hal itu menambah penderitaan para tahanan wanita, terutama para ibu yang tak bisa bertemu anak mereka.

Tahanan Palestina menjadi sasaran pemukulan, penghinaan, dan penghinaan sejak mereka ditangkap oleh pasukan pendudukan Israel. Pelecehan meningkat pada mereka begitu mereka tiba di pusat investigasi. 

Penjajah Israel mempraktikkan semua metode penyelidikan terhadap semua tawanan perang, baik psikologis maupun fisik, seperti pemukulan, kurang tidur, bekerja berjam-jam, dan intimidasi tanpa memperhatikan kewanitaan dan kebutuhan khusus mereka.

Para tahanan ditempatkan di Penjara Damoun, yang terletak di dalam wilayah pendudukan pada tahun 1948, melanggar Konvensi Jenewa Keempat, yang melarang pemindahan penduduk dari wilayah pendudukan, dan mereka menderita kondisi yang keras dan sulit dimana penjara paling kekurangan kebutuhan dasar hidup manusia.

Artikel ini telah tayang di Palinfo.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here