Spirit of Aqsa- Ketika penjajah Israel memaksa penduduk di utara Jalur Gaza untuk memilih antara mengungsi ke selatan atau mati di bawah hujan bom, banyak yang memilih mengungsi demi bertahan hidup. Namun, mereka segera menyadari bahwa kedua pilihan tersebut sama-sama berujung pada kematian, baik mereka tetap dekat atau jauh dari kota mereka.

Warga Gaza yang terpaksa keluar dari kota mereka menegaskan dalam kesaksian mereka kepada Al Jazeera bahwa mengungsi dari utara adalah keputusan terburuk yang pernah mereka buat, dan sekarang, pulang kembali menjadi impian besar yang begitu berat untuk ditahan oleh hati mereka.

Anan, yang terpaksa mengungsi ke selatan Wadi Gaza karena melihat ketakutan di mata anak-anaknya terhadap suara kematian, berkata, “Aku lemah dan memilih untuk tidak mengambil tanggung jawab atas bahaya yang mengancam nyawa mereka.”

Kelemahan inilah yang juga mendorong banyak orang tua lainnya untuk mencari tempat yang “lebih aman” demi melindungi anak-anak mereka, meskipun mereka akhirnya menyadari bahwa keamanan itu hanyalah ilusi.

Anan menggambarkan malam terakhirnya di rumah sebelum mengungsi dengan berkata, “Aku tidur di malam terakhir itu, lalu kegelapan terus berlanjut hingga hari ini.” Ia masih mencari matahari pagi setiap hari, namun belum pernah bersinar lagi.

Anan menutup pintu rumahnya di Rimal, pusat kota Gaza, meninggalkan hati, pikiran, dan harapannya di sana. Ketika ia mengunci pintu, ia berpikir hanya beberapa hari saja mereka akan kembali. Namun, dengan langkah berat, ia memulai perjalanannya ke selatan, seolah-olah ia sedang digiring menuju kematian.

Kota Deir al-Balah di tengah Jalur Gaza adalah tujuan pertama Anan dan keluarganya dari empat lokasi pengungsian yang mereka tempati, bergerak dari satu tempat ke tempat lain, tersesat dalam pencarian stabilitas dan tempat berlindung bagi anak-anaknya, namun yang mereka temukan hanyalah ketakutan dan kelaparan.

Anan menceritakan hari-harinya selama pengungsian, “Aku terbangun setiap pagi mendengar serangan udara yang mencabut nyawa warga yang aman dari rumah mereka, dan tidur malam dengan suara reruntuhan yang menghantam mereka yang hilang, disusul dengan teriakan mereka yang kehilangan.”

Menghadapi kehidupan seperti ini, Anan berkata, “Seakan-akan kita jatuh dalam konspirasi kotor dalam lingkaran penderitaan yang tiada akhir. Mereka membuat kita percaya bahwa kematian tidak akan mendekati area yang dianggap aman.”

Medali Kehormatan

Anan, bersama ratusan ribu pengungsi lainnya, telah menunggu selama setahun penuh untuk kabar tentang penghapusan hambatan yang memisahkan dua bagian Jalur Gaza dan mengizinkan mereka kembali. Setiap informasi tentang harapan gencatan senjata membuat mereka siap untuk pulang, menghibur diri dengan keyakinan bahwa kembali ke kota mereka semakin dekat.

Anan, yang dilanda kerinduan, berkata, “Aku merindukan rumahku, bau tanah di gang-gangku, wajah-wajah tetanggaku, suara azan dari masjidku.” Ia melihat hari setelah perang sebagai saat untuk mengubah semua malam penuh duka selama apa yang ia sebut sebagai “tahun hitam” menjadi energi kerja dan kekuatan untuk membangun kembali kehidupan yang dihancurkan oleh Israel. Ia bangga bertahan di Gaza dan menolak untuk beremigrasi, dengan berkata, “Kenangan ketahananku di Gaza akan menjadi medali kehormatan yang aku banggakan di hadapan siapa pun yang mendengar kisah kemenangan Gaza.”

Sementara Anan bermimpi agar hambatan yang memisahkan Gaza utara dan selatan lenyap, Shukri Falafel bermimpi agar perbatasan terbuka sehingga ia bisa kembali ke pelukan Gaza, bahkan jika itu di tengah-tengah perang.

Selama 180 hari, Shukri tidak meninggalkan rumahnya di Nasser, pusat kota Gaza, meskipun ia dikepung selama 55 hari bersama keluarganya. Mereka dipaksa meninggalkan rumah setelah menerima telepon dari perwira Israel yang memerintahkan mereka untuk segera mengosongkan rumah karena akan dibom. Kisah pengungsian mereka dimulai dari lingkungan Zaitun ke kamp pengungsi di Rafah, lalu ke Mesir sementara, karena tak ada pilihan tempat pengungsian lain yang tersisa.

Melintasi pos pemeriksaan Netzarim di bawah tatapan tank dan tentara Israel adalah pengalaman paling pahit bagi Shukri. Meskipun situasi psikologisnya selama perang di Gaza sangat berat, ia merasa lebih buruk ketika terpaksa meninggalkan Gaza.

Siapa pun yang melihat unggahan Shukri di media sosial akan menyadari betapa besar cintanya pada Gaza, bahkan sebelum perang dimulai. Ia menggambarkan Gaza sebagai “surga” dan “ibu dari segala negeri.” Begitulah cara ia melihat Gaza, seperti yang ia katakan.

Sindrom Penyintas

Berpisah dari Gaza yang dicintainya telah mengubah hidup Shukri, membuatnya gelisah, dan ia menggambarkan itu sebagai “meninggalkan Gaza adalah kehancuran, aku hidup dengan sindrom penyintas, menderita insomnia dan sering lupa.”

Shukri merindukan kebersamaan keluarganya. Ia berkata kepada Al Jazeera bahwa “Tidak ada yang bisa menggantikan pertemuan keluarga, kami merasa tenang di rumah kami meskipun di tengah perang.”

Shukri, yang menolak melanjutkan hidup di luar Gaza, berkata, “Aku akan melanjutkan hidupku di Gaza, aku tidak bisa menyesuaikan diri dengan tempat lain.” Tentang hari setelah perang, ia berencana memulai kembali kehidupannya, membangun kembali rumahnya, dan kembali ke bangku kuliah yang tertunda akibat perang. Ia menutup pembicaraannya dengan berkata, “Tujuanku adalah kembali, lalu kami akan melanjutkan studi dan membangun kembali Gaza agar menjadi surga di bumi, negeri terindah.”

Kembali ke Gaza adalah Impian Semua Orang

Bukan hanya Shukri yang berkeinginan untuk kembali ke Gaza. Kebanyakan pengungsi yang terpisah dari Gaza juga memiliki impian yang sama, seperti Asma, yang terpaksa pergi ke Qatar untuk mendapatkan perawatan medis bagi kedua putrinya setelah rumah mereka di Deir al-Balah diserang. Anaknya, neneknya, tiga saudara perempuannya, dan anak-anak mereka semua syahid.

Asma menghadapi dilema sulit karena tidak ada perawatan yang sesuai untuk putrinya, Lia, yang mengalami patah tulang tengkorak. Setelah mengetahui bahwa perawatan akan memakan waktu lama, Asma akhirnya setuju untuk pergi, meskipun sebelumnya ia menolak tiga kali tawaran untuk keluar dari Gaza di awal perang.

Jalan keluar dari Gaza digambarkan Asma seperti “jiwa yang terlepas dari tubuh,” dan selama perjalanan itu, ia terus bertanya-tanya, “Apakah Allah menyingkirkanku dari Gaza?” dengan air mata yang terus mengalir.

Meskipun Asma berpura-pura sibuk dengan jadwal perawatan medis dan kunjungan ke rumah sakit, ia menyimpan rasa sedih yang mendalam akibat kehilangan stabilitas dalam hidupnya. “Aku punya rumah yang indah, anak-anak yang luar biasa, pekerjaan, dan mobil, tidak kekurangan apapun. Bahkan di tengah perang, aku merasa tenang karena berada di rumah keluargaku, kami semua bersama.”

Tidak Ada Stabilitas

Sejak tiba di Doha beberapa bulan lalu, Asma menolak untuk menyesuaikan diri dengan keberadaannya di luar Gaza. Ia tidak membeli perabotan untuk rumah yang ia tinggali atau pakaian lebih dari yang dibutuhkan, dengan berkata, “Aku menganggap hidup di luar Gaza hanya sementara, dan akan segera berakhir begitu kami diizinkan kembali.”

Perang telah membuat Asma kehilangan nafsu makan, dan ia merasa terganggu jika ada makanan tersisa di meja. Yang paling ia rindukan adalah pulang ke rumah setelah hari kerja yang panjang, berjalan di jalanan Gaza setelah salat subuh, menghirup udara pagi, berkumpul dengan teman-teman, dan begadang dengan saudara perempuannya yang telah syahid.

Asma berkata, “Gaza memiliki pesona yang aneh, orang miskin di sana merasa damai, orang sakit merasa tenang. Gaza membawa berkah dalam segala hal, dan stabilitas di sana adalah kenyamanan yang tidak pernah aku temukan di luar.”

Kerinduan Asma untuk Gaza akan membawanya kembali suatu hari nanti. Ia menambahkan, “Anak-anak Gaza yang terluka akan kembali, membalut lukanya, membangun kembali kota itu, melayani Gaza dengan ilmu, uang, dan jiwa mereka, hingga Gaza seperti burung Phoenix yang bangkit kembali dari abu.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here