Setelah kembali ke Gaza Utara pasca-pengungsian hampir setahun akibat perang, Ahmad Shaqoura terpaksa pindah lagi ke Gaza Tengah demi mempertahankan pekerjaannya. Ia bekerja jarak jauh sebagai editor video di sebuah lembaga media Arab dan sangat bergantung pada internet, yang sulit diakses di Gaza Utara.
Saat ini, ia mendapat layanan internet gratis di ruang kerja bersama yang disediakan oleh Kantor Media Pemerintah di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa.
“Masalah internet sangat menyiksa saya sejak awal perang, menyebabkan kerugian besar bagi saya. Kini saya jauh dari keluarga di utara demi pekerjaan. Saya mencoba bekerja di salah satu ruang kerja bersama di Kota Gaza, tetapi internet di sana buruk dan biayanya tinggi, mencapai 5 hingga 7 syikal per jam (1 dolar = 3,6 syikal),” ujar Shaqoura kepada Al Jazeera Net.
Bahkan di Gaza Tengah, ia masih mengalami kesulitan untuk mengakses ruang kerja tersebut. Ia harus berjalan kaki dalam jarak yang jauh dan sering kali melakukannya di malam hari yang berbahaya.
Suatu malam, ia hampir syahid ketika sebuah drone Israel tipe quadcopter menghadangnya di tengah jalan saat ia pulang dari bekerja.
Rangkaian Kesulitan
Ahmad Al-Awady, pemilik ruang kerja bersama di Kota Gaza yang dapat menampung sekitar 100 orang, kini harus menghadapi lonjakan permintaan pasca-kembalinya para pengungsi dari Gaza Selatan setelah kesepakatan gencatan senjata.
Saat ini, ia menerima sekitar 500 orang setiap hari yang mencari tempat untuk melanjutkan pekerjaan atau pendidikan mereka yang terhenti akibat perang.
“Sebagian besar pelanggan adalah pekerja jarak jauh yang mencoba kembali ke pekerjaan mereka, seperti programmer, desainer, penulis konten, dan jurnalis. Ada juga mahasiswa universitas dan pelajar sekolah menengah yang berusaha mengejar ketertinggalan mereka,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.
Namun, keterbatasan fasilitas memaksanya untuk menolak sebagian pelanggan. Terkadang, ia hanya bisa menerima 200 orang, sementara sisanya harus mencari alternatif lain. Kondisi ini menciptakan kepadatan luar biasa di ruang kerja bersama.
“Kami semua menderita, baik saya maupun pelanggan. Menyalakan generator listrik selama satu jam saja menghabiskan 400 syikal, yang harus ditanggung pelanggan dengan membayar 7 syikal per jam. Selain itu, tidak ada lagi kursi atau meja di Gaza karena sebagian besar telah digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak,” tambahnya.
Selain itu, pelanggan harus berjalan jauh untuk mencapai tempatnya karena transportasi yang terbatas dan mahal. Namun, setelah tiba, mereka sering kali mendapati bahwa internet lemah atau listrik padam akibat kerusakan generator.
“Ini adalah rangkaian penderitaan yang tak berujung,” kata Al-Awady.
Ia mendapatkan internet dari perusahaan telekomunikasi Palestina melalui pemancar udara karena kabel jaringan telah hancur akibat serangan Israel. Israel juga melarang masuknya peralatan perbaikan, yang membuat layanan internet tidak stabil dan sering kali buruk.
Dampak Ekonomi
Kerusakan besar akibat serangan Israel di hampir seluruh wilayah Gaza, terutama di utara, menyebabkan layanan internet terputus di banyak daerah. Perusahaan telekomunikasi Palestina—penyedia utama layanan internet di Gaza—menghadapi kesulitan besar untuk memulihkan jaringan akibat larangan Israel terhadap masuknya suku cadang dan kabel yang diperlukan.
Israel berulang kali memutus jaringan komunikasi dan internet di berbagai wilayah Gaza untuk mengisolasi daerah tersebut dari dunia luar. Faksi-faksi Palestina menganggap tindakan ini sebagai “kejahatan yang bertujuan untuk mengisolasi dan mengusir warga Gaza.”
Direktur Kamar Dagang dan Industri Gaza, Maher Al-Tabaa, menyoroti dampak besar yang ditimbulkan terhadap ekonomi akibat pemutusan atau lemahnya akses internet.
“Saat ini, internet adalah penggerak utama ekonomi. Semua transaksi dan prosedur bisnis bergantung padanya, tetapi jaringan komunikasi hampir hancur seperti sektor kehidupan lainnya,” katanya kepada Al Jazeera Net.
Ia menambahkan bahwa Israel melarang perbaikan jaringan komunikasi dan internet serta mencegah masuknya kabel dan suku cadang yang diperlukan.
Akibatnya, warga Gaza harus berjalan jauh mencari akses internet dan membayar biaya yang jauh lebih tinggi daripada kemampuan finansial mereka untuk mendapatkan layanan yang buruk. Banyak dari mereka kehilangan pekerjaan akibat kondisi ini.
Krisis ini melahirkan fenomena “Internet Jalanan,” di mana perusahaan kecil memasang router di tiang listrik untuk menyediakan layanan internet terbatas bagi warga dengan sistem pembayaran per jam.
Dampak terhadap Pendidikan
Mahasiswi Fakultas Farmasi dari Khan Younis, Yara Abdu, mengatakan bahwa tidak tersedianya internet sangat berdampak pada studi mahasiswa.
“Pendidikan saya sangat bergantung pada pencarian informasi di internet, terutama karena saya belajar di bidang medis yang membutuhkan banyak referensi yang saat ini tidak tersedia,” katanya kepada Al Jazeera Net.
Ia harus berjalan jauh untuk mencapai titik akses internet yang hanya menawarkan layanan lemah. “Sebelum perang, saya bergantung pada internet untuk berkomunikasi dengan dosen dan bertukar informasi dengan teman-teman. Sekarang, saya kehilangan banyak materi dan pengalaman akademik karena putusnya internet,” ujarnya.
Direktur Hubungan Masyarakat di Kementerian Pendidikan Gaza, Ahmad Al-Najjar, menegaskan bahwa pemutusan atau lemahnya internet berdampak besar pada pendidikan, terutama dengan meningkatnya ketergantungan pada pembelajaran daring dan platform digital sebagai sumber utama materi pelajaran.
“Mahasiswa yang bergantung pada internet untuk mengakses materi, menghadiri kelas virtual, dan berkomunikasi dengan guru mereka menghadapi tantangan besar akibat tidak tersedianya layanan atau pemadaman internet yang terus-menerus. Hal ini menyebabkan penurunan prestasi akademik dan keterlambatan dalam menyelesaikan tugas serta mempersiapkan ujian. Saat ini, hampir semua ujian dilakukan melalui aplikasi digital seperti Microsoft Teams dan Wise School,” jelasnya kepada Al Jazeera Net.
Bagi siswa sekolah menengah atas (Tawjihi), kata Al-Najjar, hilangnya akses internet menjadi lebih kritis. Mereka sangat bergantung pada sumber daya digital untuk mengulas pelajaran, mengikuti ujian simulasi, dan memanfaatkan video pembelajaran guna memahami materi lebih dalam.
Sejak agresi Israel terhadap Gaza dimulai, keterbatasan akses internet telah menjadi salah satu bentuk isolasi yang memperburuk kondisi ekonomi, sosial, dan pendidikan di wilayah tersebut.
Sumber: Al Jazeera