Penulis Israel, Sivan Tahal, mengungkap sisi kelam dari operasi militer Israel di Gaza. Dalam laporan investigatifnya, ia menyoroti tindakan unit tak resmi bernama “Kekuatan Uria” yang menghancurkan 409 bangunan di Gaza selama masa duka atas tewasnya seorang tentara cadangan, Avraham Azulai. Ia terbunuh saat mengoperasikan alat berat dalam aksi penghancuran di Khan Younis pada 9 Juli lalu.

Unit ini bukan bagian resmi dari tentara, melainkan terdiri dari pemukim ekstremis dan warga sipil yang direkrut oleh perusahaan konstruksi. Para anggota unit ini menyebut aksi penghancuran tersebut sebagai “penghormatan bagi rekan yang gugur”, namun laporan Tahal menyebut praktik ini menunjukkan bagaimana ideologi pemukiman menyatu dengan aksi militer di lapangan—tanpa pengawasan maupun akuntabilitas.

Sivan menulis, Azulai adalah pemuda dari pemukiman Yitzhar yang terkenal radikal. Ia pernah mengalami penurunan pangkat karena desersi, namun pasca kematian, militer Israel mengangkatnya sebagai pahlawan. Sang ayah mengutip ucapan anaknya sebelum tewas, “Kami menghancurkan rumah-rumah mereka. Dengan begitu mereka tidak punya tempat untuk kembali.”

Lebih dari sekadar balas dendam, aksi penghancuran ini berubah menjadi proyek komersial. Para operator alat berat menerima bayaran hingga 5.000 shekel (sekitar Rp21 juta) per bangunan yang dihancurkan. Alat-alat berat yang dulu membangun pos-pos pemukim di Tepi Barat kini digunakan untuk meratakan Gaza, atas nama “melawan terorisme”.

Slogan “Uria Power” kini melekat pada proyek ini, menggabungkan kekuatan ekonomi, ideologi ekstrem, dan kekerasan militer. Bahkan, 70% bangunan di Gaza kini tak lagi layak huni, menurut PBB. Namun kehancuran terus berlanjut, tak lagi sekadar aksi militer, melainkan pembersihan sistematis yang didorong oleh keyakinan ideologis dan keuntungan material.

“Yang dimulai sebagai upaya menguasai kembali Gaza,” tulis Tahal di akhir laporannya, “telah berubah menjadi penghapusan terencana atas lingkungan-lingkungan tempat tinggal, dipelopori pemukim dan aktivis gerakan kolonial, seolah-olah tanah ini sedang dipersiapkan bukan hanya untuk perang, melainkan untuk masa depan tanpa rakyat Palestina.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here