Meski rakyat Palestina di Jalur Gaza telah membayar harga yang sangat mahal—baik secara nyawa maupun ekonomi—selama agresi militer yang berlangsung lebih dari satu setengah tahun, para analis menilai bahwa Israel justru kehilangan sesuatu yang jauh lebih mendalam: keretakan internal dan kehancuran citra global yang tak dapat dipulihkan.

Selama 600 hari agresi, Israel telah membunuh sekitar 55.000 warga sipil, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan menghancurkan hampir seluruh infrastruktur Gaza. Namun, menurut pengamat militer Brigadir Elias Hanna, agresi brutal ini gagal mencapai tujuan utamanya: mengakhiri perlawanan, membebaskan sandera, dan melucuti Gaza dari senjata.

Dalam program Masar al-Ahdats (Lintasan Peristiwa), Hanna menegaskan bahwa Israel gagal mengubah hasil militer menjadi keuntungan politik. Kekalahan strategis dimulai sejak hari pertama, 7 Oktober 2023, saat pasukan perlawanan mengejutkan Israel dan membuatnya gagal mengambil alih kendali secara cepat. Strategi yang awalnya mengandalkan daya gentar kini berubah menjadi pola penghukuman massal terhadap warga sipil.

Lebih lanjut, Hanna menjelaskan bahwa Israel bertempur di medan yang telah dirancang oleh perlawanan, yang tahu betul bagaimana dan di mana perang harus digelar. Bahkan setelah berkali-kali mengubah taktik, hasilnya tetap nihil.

Gagal Politik, Negara Kian Terbelah

Kegagalan militer yang tak kunjung berbuah hasil politik turut melahirkan krisis dalam negeri terbesar dalam sejarah Israel modern, kata analis urusan Israel, Sari Arabi. Perang yang awalnya dianggap sebagai konsensus nasional, kini berubah menjadi titik api perpecahan internal.

Perpecahan itu tak lagi sekadar soal “apakah perang ini layak dilanjutkan,” tapi telah merambah pada bentuk masa depan Israel itu sendiri. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—yang kini jadi buronan Mahkamah Pidana Internasional—dituding hendak menyeret Israel menjadi negara teokratis yang berputar di sekitar kepentingan pribadinya.

Menurut Arabi, perpecahan ini tak bisa diabaikan, karena menyentuh akar pendirian negara Zionis itu sendiri. “Israel dibentuk oleh para pendiri sekuler sebagai tempat aman bagi Yahudi dunia. Tapi hari ini, kelompok kanan ekstrem justru mengedepankan tanah atas kehidupan, dan itu merusak fondasi negara ini.”

“Negara” yang Tak Berakar, Terancam Runtuh

Dr. Laqaa Maki, peneliti senior di Pusat Studi Al Jazeera, menilai bahwa bahaya sesungguhnya terletak pada rapuhnya pondasi eksistensi Israel itu sendiri. Negara yang tak berakar sejarah ini dahulu menghadapi perang dengan keseriusan tinggi, tapi kini kehilangan arah dan legitimasi moralnya.

Maki menegaskan bahwa meski Gaza menderita secara fisik dan ekonomi, Israel juga telah membayar harga sosial dan politik yang sangat tinggi. “Eropa mulai memberontak, dan Amerika Serikat pun mulai menganggap Israel sebagai beban,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa proses normalisasi dengan negara-negara Arab kini membeku tanpa batas waktu, sementara Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan surat penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant.

Perlawanan Bertahan, Israel Kehilangan Martabat Moral

Maki mengakui bahwa setiap perang memiliki harga yang harus dibayar. Namun ia menegaskan, perlawanan Palestina justru meraih pencapaian politik besar. Dalam 600 hari, mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu mencapai tahap negosiasi langsung dengan Amerika Serikat—prestasi yang tak bisa diraih bahkan oleh Hizbullah, yang hanya mampu bertahan dua bulan dalam konfrontasi terakhirnya dengan Israel.

“Dua pihak membayar harga dalam perang ini. Namun kerugian moral Israel tak tergantikan. Dunia kini makin banyak yang menyerukan pengakuan negara Palestina, sementara perlawanan berhasil mempertahankan narasinya,” kata Maki.

Ia mengakhiri dengan penegasan tajam: “Warga Gaza tidak akan pernah menghilang.” Sejarah akan mencatat siapa yang bertahan dan siapa yang kehilangan pijakan. Ia juga mengingatkan bahwa legitimasi gerakan Fatah—yang kini memimpin Otoritas Palestina—berasal dari perjuangan bersenjata, yang dahulu mengantarkan Yasser Arafat berpidato di PBB.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here