Dalam dunia penuh cerita, kisah “Penjual Korek Api” adalah imajinasi yang diciptakan oleh Hans Christian Andersen. Cerita itu menggambarkan seorang gadis kecil yang dilanda kemiskinan dan penderitaan hingga menyerah pada dinginnya malam. Kita mengira cerita itu jauh dari kenyataan, tetapi di Jalur Gaza, yang telah hidup di bawah perang dan blokade selama lebih dari 14 bulan, imajinasi ini berubah menjadi kenyataan yang jauh lebih pahit.
Di tenda-tenda rapuh di Gaza, anak-anak menghadapi jenis kematian baru yang menambah panjang daftar penderitaan mereka akibat perang genosida yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023. Udara dingin musim dingin menghampiri mereka di tengah kegelapan malam, menggerogoti tubuh-tubuh kecil mereka setelah kehilangan tempat tinggal yang hangat dan perlindungan yang memadai di kamp-kamp pengungsian yang sangat kekurangan fasilitas hidup.
Hingga kini, enam anak, termasuk bayi baru lahir, telah meninggal akibat kedinginan di Gaza. Korban terbaru adalah bayi Ali Batran, saudara kembar seorang bayi yang meninggal dunia pada Minggu lalu. Ali, yang baru berusia satu bulan, syahid pada Senin akibat suhu rendah yang ekstrem, menurut laporan resmi Kantor Berita Palestina (WAFA).
Berita tentang kematian anak-anak akibat kedinginan di tenda pengungsian tanpa alat pemanas menyebar luas di media sosial. Banyak aktivis Palestina dan Arab membandingkan penderitaan anak-anak Gaza dengan cerita gadis “Penjual Korek Api.”
Kisah “Penjual Korek Api” menggambarkan seorang gadis miskin di malam Tahun Baru. Ia berkeliaran tanpa alas kaki di jalanan, mencoba menjual korek api. Tak ada yang membelinya, sehingga ia harus menghadapi dingin dan kelaparan. Gadis itu duduk di sudut antara dua rumah, menyalakan korek api untuk mencari kehangatan. Dalam nyala kecil itu, ia membayangkan pemandangan indah: perapian hangat, meja makan penuh makanan, pohon Natal, dan akhirnya neneknya yang penuh kasih.
Dalam imajinasinya, sang nenek membawanya pergi dari penderitaan. Esok paginya, orang-orang menemukannya meninggal dengan senyum di wajahnya. Mereka mengira ia mati karena kedinginan, tanpa mengetahui bahwa ia telah mencapai kedamaian yang diimpikannya, meninggalkan korek api, dingin, dan kelaparan.
Terkait kematian anak-anak di Gaza, aktivis Palestina Nur Abu Salma mengatakan, “Tak ada yang menyangka dingin bisa membunuh seperti api. Kita semua, tua dan muda, menganggap api lebih menyakitkan. Namun, siapa sangka ada yang mati karena dingin, seperti Penjual Korek Api dalam cerita anak-anak.”
Ia bertanya, “Mengapa anak-anak Gaza tak bisa menahan dingin sedikit saja? Anda membungkus mereka dengan semua kain yang Anda punya, bahkan dengan tubuh Anda, tetapi di pagi hari, Anda menemui mereka kaku seperti kayu, dengan bibir membiru dan mata terpejam, seakan takut melihat kesedihan orang tua mereka.”
Aktivis Israa di Facebook menulis bahwa sepanjang hidupnya, ia hanya mendengar tentang kematian akibat kedinginan dalam cerita “Penjual Korek Api.” Namun kini, di tahun 2024, tragedi itu menjadi nyata.
“Anak-anak di Gaza meninggal dunia karena kedinginan di hadapan mata dunia, dalam kondisi yang tak bisa digambarkan.”
Pendakwah Palestina Jihad Hils menambahkan bahwa anak-anak Gaza membeku hingga meninggal di dalam tenda akibat suhu rendah dan angin kencang yang membuat tenda mereka beterbangan, meninggalkan mereka di tempat terbuka saat malam.
Israa Sami juga menulis di Facebook, “Para orang tua tak bisa tidur di malam hari karena harus memeriksa anak-anak mereka yang kedinginan. Anak-anak itu sendiri hidup dalam ketakutan akan kematian karena dingin. Ini adalah kepanikan kolektif dari sebuah bangsa yang benar-benar mati karena dingin, bukan sekadar ungkapan metaforis.”
Seorang pengguna media sosial lainnya berkomentar, “Dingin merasuk ke tubuh kecil anak-anak Gaza dan menggerogoti mereka. Ketika kota ini pertama kali dikepung, listrik, bahan bakar, dan bahkan napas mereka diputus. Tapi sekarang, kematian karena dingin menjadi bayangan menakutkan yang menyelimuti hati kami. Saya selalu memeriksa anak-anak saya, orang tua saya, dan merasa ngeri saat melihat seorang anak di jalan tanpa perlindungan dari monster dingin ini.”
Para aktivis menggambarkan musim dingin di Gaza sebagai tragedi yang terus berulang. Ketiadaan alat pemanas di kamp pengungsian membunuh anak-anak yang seharusnya dilindungi oleh inkubator rumah sakit. Namun, kekurangan fasilitas dan serangan terus-menerus membuat mereka menjadi korban dari keadaan yang sangat keras.
Mereka bertanya, “Ke mana mereka yang berkompromi dengan Israel akan berlindung dari dosa besar ini? Anak-anak Gaza dibantai dengan segala cara kejam, termasuk membiarkan mereka membeku hingga mati. Dunia yang pengecut hanya menonton saat genosida ini berlangsung.”
Sumber: Al Jazeera