Spirit of Aqsa, Palaestina – Rakyat Palestina kembali bersiap menyambut pemilihan parlemen yang pertama kali digelar dalam 15 tahun. Kantor pendaftaran penerimaan partai politik dan kandidat independen yang akan ambil bagian dalam pemilu pun mulai dibuka pada Sabtu (20/3).

Pemilu yang rencananya akan digelar pada 22 Mei mendatang di Tepi Barat dan Gaza ini adalah bagian dari upaya rekonsiliasi antara faksi Fatah oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan faksi pesaingnya yakni Hamas.

Pemilu ini dipandang penting untuk dapat membangun dukungan yang lebih luas dalam setiap pembicaraan dengan Israel yang telah dibekukan sejak 2014, seperti yang dilansir dari DW Indonesia pada Sabtu (20/3).

Sekitar 93 persen dari 2,8 juta pemilih yang memenuhi syarat di Tepi Barat dan Gaza telah mendaftar untuk pemungutan suara mendatang. Saat ini, total populasi di wilayah Palestina mencapai 5,2 juta.

Berbeda dengan pemilu tahun 1996 dan 2006, kali ini warga Palestina tidak akan memberikan suara untuk kandidat perorangan, melainkan untuk partai atau daftar yang berisi antara 16 dan 132 kandidat.

Kode etik untuk redam potensi konflik

Sebelumnya, Fatah dan Hamas telah menyapakati kode etik untuk memastikan pemilu mendatang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi dan integritas. Dalam salinan dokumen yang diperoleh kantor berita AFP, ada 25 poin kode etik pemilu menekankan “kriminalisasi dan larangan menggunakan senjata…selama kegiatan pemilu.”

Pemungutan suara parlemen terakhir kali diadakan di Palestina 2006, dengan Hamas sebagai pemenangnya. Kemenangan ini dinilai mengejutkan banyak pihak.

Hamas termasuk dalam daftar hitam sebagai kelompok teroris oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat dan kemenangan yang tidak diakui Presiden Mahmud Abbas. Perebutan kekuasaan pun terjadi. Pada 2007, setelah berlangsung pertempuran selama berminggu-minggu yang menewaskan puluhan orang, Hamas kemudian berhasil menguasai Gaza.

Sedangkan otoritas Abbas, memegang kendali terbatas di Tepi Barat yang diduduki Israel. Untuk menghindari terulangnya ketegangan dan kekerasan, kedua kelompok itu bertemu di Kairo pada Februari lalu dan menyetujui serangkaian langkah, termasuk mendirikan “pengadilan elektoral” untuk mengawasi pemungutan suara

Keempat belas orang perwakilan masing-masing pihak juga menyatakan komitmen untuk menghormati hasil pemilu mendatang. Selain itu, ada pula komitmen untuk tidak melakukan tindakan hasut yang menyulut kekerasan terhadap para kandidat atau pemilih dalam menuju tempat pemungutan suara.

Daftar itu juga mencantumkan kesepakatan untuk tidak menggunakan tempat ibadah keagamaan untuk berkampanye dan kandidat harus menahan diri untuk tidak menyulut perbedaan “sektarian”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here