Ketika Muhammad Hamad berjalan di antara lorong-lorong tenda pengungsian, ia menyaksikan dengan pilu kerumunan anak-anak yang berebut makanan di dapur umum dan mengantri untuk mengisi air. Anak-anak tanpa alas kaki berkeliaran tanpa arah, terjebak dalam kehampaan waktu dan kehinaan kondisi tempat tinggal mereka.
Muhammad melarikan diri ke pantai, merenungi perang tersembunyi Israel yang secara sistematis bertujuan menghancurkan akal pikiran generasi muda secara perlahan. Di tengah lamunannya, ia melihat beberapa siswi duduk di area terbuka di dekat pantai hingga larut sore. Ketika ia bertanya apa yang mereka lakukan, mereka menjawab, “Kami siswi SMA yang mencari koneksi internet, karena hanya tersedia di kafe atau tempat peristirahatan di pantai.”
Sebuah suara dalam diri Muhammad menguatkan pemikirannya: “Ini adalah kebutuhan yang mendesak.” Namun, ia diliputi oleh keraguan terkait tempat, waktu, dan sumber daya. Selama beberapa hari, ia terus berpikir tentang bagaimana memulai langkah besar yang ia cita-citakan.
Hingga suatu hari, saat berselancar di media sosial, ia melihat wawancara dengan seorang pria tua yang berkata, “Israel ingin generasi ini menghabiskan hidup mereka mengejar makanan dan air. Tapi, kita siap mengorbankan segalanya kecuali pendidikan.”
Pernyataan itu membangkitkan semangat Muhammad seperti badai. Ia memutuskan untuk melawan kenyataan yang ada dan mengambil langkah pertama untuk membangun sekolah. Bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga sebagai tempat perlindungan untuk membangun manusia yang berusaha dihancurkan oleh Israel.
Kebangkitan “Al-Anqaa”
Hanya dalam 60 hari, Muhammad dan timnya berhasil mewujudkan impian mereka dengan mendirikan sekolah “Al-Anqaa.” Nama sekolah ini diambil dari burung mitos Phoenix yang bangkit dari abu, namun kebangkitan sekolah ini bukanlah mitos. Sekitar 40% bahan bangunan yang digunakan berasal dari reruntuhan yang didaur ulang.
Muhammad Hamad, direktur proyek pembangunan sekolah ini, menjelaskan kepada Al Jazeera Net: “Kami mengambil besi dari rumah kaca pertanian yang rusak, memulihkan ubin dari jalan-jalan yang rusak dan area perbatasan, serta membeli rumput sintetis dari lapangan olahraga. Bahkan dekorasi kami kumpulkan dari rumah teman dan kerabat yang mengalami kerusakan parsial.”
Kursi sekolah juga menjadi bagian dari ide revolusioner ini. Mereka mengambil kursi dari sekolah-sekolah yang hancur akibat serangan, memperbaikinya, dan mengubahnya menjadi kursi belajar yang baru.
Selain mendaur ulang bahan bangunan, sekitar 60% kebutuhan lainnya dibeli dari pasar lokal Gaza, sesuai dengan slogan mereka, “Gaza menolong dirinya sendiri.” Muhammad menambahkan, “Dengan penutupan perbatasan dan larangan impor, kami harus mengandalkan diri sendiri.”
Salah satu tantangan terbesar adalah menemukan lahan yang cukup luas dan datar di tengah kepadatan dua juta pengungsi di Gaza selatan. Selain itu, mereka juga harus menghadapi minimnya pasokan listrik, air, dan tenda untuk sekolah.
Namun, semua rintangan berhasil diatasi. Dengan bantuan dari dalam dan luar Gaza, tim ini berhasil mengimplementasikan proyek energi surya dan menggali sumur air untuk sekolah yang juga dimanfaatkan oleh ratusan keluarga di sekitar wilayah tersebut. Muhammad menceritakan keajaiban yang terjadi saat menggali sumur: “Air yang kami temukan ternyata tawar, meskipun lokasinya hanya 200 meter dari pantai.”
Ikon Pendidikan
Bagi warga Gaza, “Al-Anqaa” lebih dari sekadar sekolah. Sekolah ini membentang di atas lahan seluas 3 dunum (sekitar 3.000 meter persegi), menampung 2.500 siswa dari taman kanak-kanak hingga SMA, baik laki-laki maupun perempuan. Setiap kelompok memiliki jadwal belajar terpisah selama tiga hari dalam seminggu, dengan empat sesi dari pagi hingga sore hari.
Sebanyak 66 guru mengajar di sekolah ini, sebagian besar adalah sukarelawan berpengalaman dengan masa kerja antara 10 hingga 20 tahun. Mereka dipilih melalui wawancara yang diawasi oleh Kementerian Pendidikan.
Minat masyarakat untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah ini sangat besar. Muhammad mengungkapkan, “Saat pendaftaran dibuka, kuota segera terpenuhi hanya dalam beberapa jam. Kami bahkan terpaksa menutup pendaftaran lebih awal.”
Sekolah ini menawarkan suasana yang jauh dari lingkungan tenda yang menyedihkan. Dengan fasilitas seperti taman bermain, kebun, kursi berwarna, penerangan, kantin, serta tenaga pengajar khusus, “Al-Anqaa” menjadi tempat yang diidamkan para orang tua. Di dalam sekolah juga terdapat kelas Quran yang mengajarkan tauhid, fiqih, sira, dan tilawah Al-Quran secara nonformal.
Mewujudkan Mimpi
Setelah kerja keras yang panjang, sekolah ini akhirnya diresmikan dalam sebuah acara pembukaan yang mengharukan. Muhammad tak kuasa menahan air mata saat melihat anak-anak berbaris dalam antrean sekolah, bukan di jalanan. “Itu adalah hari paling bahagia dalam hidup saya,” ujarnya.
Sebulan setelah sekolah beroperasi, para pengelola memuji disiplin siswa yang luar biasa. “Tidak ada anak yang datang ke sekolah dengan terpaksa, dan hampir tidak ada yang absen atau melarikan diri,” kata Muhammad.
Sekolah ini juga telah mendapat pengakuan resmi dari Kementerian Pendidikan, sehingga siswa akan menerima sertifikat resmi di akhir tahun ajaran. Bersama UNICEF, lokasi sekolah ini juga telah didaftarkan pada sistem GPS untuk menghindari risiko serangan Israel.
Ketika ditanya apakah ia takut bertanggung jawab atas keselamatan ratusan anak, Muhammad menjawab, “Meninggalkan anak-anak dalam kebodohan adalah kematian perlahan bagi mereka. Jadi, mengapa kita harus takut pada kematian yang mungkin terjadi, tetapi tidak pada kehancuran yang pasti?”
“Rakyat Kami Layak Mendapatkan yang Terbaik”
“Al-Anqaa” adalah salah satu dari lebih dari 284 proyek besar yang digagas oleh tim relawan muda “Auna.” Proyek-proyek ini mencakup penggalian sumur, perbaikan jalan, pengelolaan limbah, pembangunan rumah sakit, serta pendirian sekolah.
Muhammad, yang awalnya seorang aktivis media yang mendokumentasikan kekejaman Israel, kini menjadi sosok inspiratif. “Saya ingin dunia melihat prestasi kami, bukan hanya penderitaan kami. Rakyat kami layak mendapatkan yang terbaik,” katanya.
Mengakhiri wawancara, Muhammad menegaskan, “Saya benci melihat Gaza sebagai pengemis. Dunia seharusnya mendukung kami tanpa belas kasihan. Dengan semangat kami yang membara, kalian akan melihat Gaza seperti yang belum pernah kalian lihat sebelumnya.”
Sumber: Al Jazeera