Spirit of Aqsa, Palestina – Keluarga-keluarga Palestina menjadikan gua-gua dan rongga berbatu dingin yang jarang dimasuki cahaya sebagai rumah mereka. Hal tersebut mereka lakukan untuk melindungi tanahnya dari teror para pemukim Yahudi. Meski keluarga-keluarga tersebut menjalani kehidupan primitif, jauh dari terpenuhinnya kebutuhan minimum untuk hidup di jaman modern, tanpa air, tidak ada listrik, tidak ada jalan, tidak ada telepon, hidup dari pekerjaan mereka di pertanian atau peternakan, namun momok pengungsian dan perambahan koloni-koloni permukiman Yahudi mengancam nasib dan masa depan mereka.
Di sinilah letak kedalaman konflik Palestina-Israel di lapangan. Koloni-koloni permukiman Yahudi merambah melahap setiap jengkal tanah warga Palestina. Orang-orang Palestina berusaha menerapkan realitas mereka di lapangan. Mereka menghabiskan waktunya antara mempertahankan tanah dan mencari cara untuk hidup yang layak dan kelangsungan hidup (eksistensi).
Gangguan dan tekanan
Meskipun terus menerus diganggu dan diserang oleh para pemukim pendatang Yahudi, gua-gua ini tersebar di berbagai wilayah di Tepi Barat. Di perbukitan Hebron selatan, menjadi tempat tinggal orang-orang Palestina sejak tahun 1830-an. Begitu juga di Nablus, Jenin, dan Lembah Yordan.
Gua-gua dan komunitas pemukiman penduduk Palestina lainnya, meskipun kemampuannya untuk hidup terbatas, merupakan pilar utama dalam mempertahankan tanah Palestina. Hal ini yang membuat mereka rentan mengalami gangguan dan tekanan dari penjajah Israel dan para pemukim pendatang Yahudi. Demikian kata Syaikh Ibrahim Al-Hadzalin, ketua dewan desa dari desa Khashm Al-Durj (yang merupakan salah satu desa di daerah Masafer Yatta di tenggara kota Hebron) dalam wawancara khusus dengan koresponden Pusat Informasi Palestina.
Al-Hadzalin menyatakan bahwa masalah utamanya adalah bahwa berdasarkan Perjanjian Oslo, tanah mereka diklasifikasikan sebagai wilayah zona “C” (secara administrasi dan keamanan berada di bawah kotrol penjajah Israel), di mana otoritas penjajah Israel mencegah penduduk Palestina di daerah tersebut untuk membangun atau memperluas rumah, dan juga mencegah penyediaan layanan seperti membangun sekolah dan klinik medis, membangun jalan dan menghubungkan saluran air, jaringan listrik dan telepon.
Penderitaan berkelanjutan
Dia melanjutkan, “Warga Palestina hidup dalam penderitaan yang terus menerus dan tanpa akhir, terutama karena penjajah Israel melakukan apa yang diinginkannya tanpa ada campur tangan dari Otoritas Palestina.”
Mengenai penyerangan yang terjadi terus-menerus, Syaikh Al-Hadzalin mengatakan bahwa ada berbagai bentuk penyerangan, seperti: penyitaan lahan yang luas, dan penyerangan terhadap bangunan dan tempat tinggal yang ada, baik itu gua, gua, barak Zenko, tenda atau bangunan batu, melalui operasi pembongkaran, dengan dalih bahwa bangunan-bangunan tersebut tidak ada izin.
Di antara serangan-serangan tersebut, tentara penjajah Israel menghancurkan jaringan air yang dibangun oleh Yayasan Solidaritas dan Kerjasama Italia (ACS) untuk memasok air bagi penduduk di daerah itu, penyitaan karavan yang disumbangkan oleh penduduk di daerah itu untuk mendirikan sekolah di daerah Khallet al-Daba, memaksa siswa untuk berjalan puluhan kilometer untuk bisa menuntut ilmu, dengan tidak adanya jalan yang disiapkan dan dengan tersebarnya kawanan pemukim Yahudi di sepanjang jalan dan penyerangan yang mereka lakukan terhadap para siswa.
Al-Hadzalin menjelaskan bahwa seorang pemukim Yahudi menyita hampir 4 km tanah warga empat bulan lalu, dan melakukan kekerasan berat terhadap warga. Dan 4 hari yang lalu, pasukan pendudukan penjajah Israel menangkap 3 anak saat mereka berada di ladang. Pada hari yang sama, para pemukim Yahudi menyerang seorang warga saat dia sedang mengolah tanahnya.
Syaikh Al-Hadzalin meminta agar mendukung spirit juang warga dengan memberikan layanan kesehatan dan pendidikan, infrastruktur, serta jaringan air dan listrik. Dia menyerukan kepada warga untuk berpindah dari yang tinggal di kota dan desa ke daerah tersebut dalam rangka mendukung dan menguatkan warga yang tinggal di daerah tersebut.
Motivasi hidup
Sementara itu, peneliti urusan permukiman, Khaled Ma’ali, dalam wawancara khusus dengan Pusat Informasi Palestina, menegaskan bahwa banyak motif yang mendorong warga untuk tinggal di gua dan bukit. Paling penting adalah melindungi tanah mereka dari serangan penjajah Israel dan kawanan pemukim pendatang Yahudi. Serta untuk melawan keputusan penyitaan tanah mereka demi perluasan koloni permukiman Yahudi. Selain faktor ekonomi dan karakter pekerjaan di bidang peternakan dan pertanian.
Dia menjelaskan bahwa orang-orang Palestina yang tinggal di gua-gua dipaksa menjalani kehidupan primitif ini di tengah-tengah kondisi kehidupan yang sulit ini, mengingat upaya otoritas pendudukan penjajah Israel untuk menggusur dan mencuri tanah mereka, dengan dalih bahwa wilayah adalah zona militer ditutup untuk melatih tentara penjajah Israel dan bahwa tanah tersebut berada di bawah kontrol penjajah Israel.
Ma’ali melanjutkan, “Para pemukim Yahudi ingin mengusir orang-orang Palestina dari tanahnya dan merebutnya dengan cara apa pun. Mereka tidak ingin ada orang Palestina di tanah Palestina. Oleh karena itu mereka menyerang warga, menembak mereka, mengusir penggembala, menyita ternak mereka, membuldoser tanah warga, dan membakar tanaman pertanian dan rumah mereka, dengan mendapatkan perlindungan dari tentara penjajah Israel.”
Dia mengingatkan bahwa dukungan yang diberikan kepada keluarga-keluarga tersebut tidak sampai batas minimal yang dibutuhkan, dan hanya sebatas di media. Dia memperingatkan bahwa para penduduk gua telah menyampaikan banyak seruan, untuk berdiri bersama mereka dan mendukung spirit juang mereka secara moral dan finansial, dan untuk menggalang kunjungan solidaritas bagi mereka.
Bagian dari budaya
Sedang pakar urusan tembok dan permukiman serta pendiri Komite Perlawanan Rakyat, Salah Al-Khawaja, mengatakan bahwa tinggal di gua-gua dan bukit telah menjadi bagian dari budaya Arab Palestina selama ratusan tahun, dengan tujuan untuk mencari mata pencaharian yang layak, baik itu warga Badui, peternak, atau kehidupan pedesaan pertanian. Karena mereka adalah bagian integral dari sejarah dan peradaban Kanaan Palestina, dan perpanjangan dari generasi nenek moyang kuno yang tinggal di gua-gua.
Dalam pernyataan kepada koresponden Pusat Informasi Palestina, Al-Khawaja menjelaskan bahwa kampanye rakyat untuk melawan tembok dan permukiman Yahudi telah melaksanakan beberapa proyek guna memperbaiki kondisi kehidupan di gua-gua, termasuk: merenovasi gua-gua, menyediakan jaringan listrik dan air untuk mereka, sekaligus melestarikan ciri khas daerah tersebut, dan menyediakan kebutuhan sehari-hari penduduk yang tinggal di dalamnya.
Al-Khawaja menegaskan bahwa mendukung ketabahan penghuni gua yang tersebar di Hebron, Nablus dan Lembah Yordan, serta memberi mereka layanan yang diperlukan, merupakan bagian mendasar dari pertempuran perlawanan dan kelangsungan hidup menghadapi rencana ekspansi permukiman Yahudi.
Meskipun Komite Rakyat yang tersebar di Tepi Barat Palestina melakukan banyak upaya untuk mendukung dan memperkuat para penghuni gua, mereka membutuhkan dukungan resmi dan rakyat untuk mengembangkan alat-alat mereka, demikian menurut Al-Khawaja.
Dia menyerukan untuk meninggalkan metode tradisional yang sudah tidak berguna dalam menangkis serangan para pemukim Yahudi dan otoritas penjajah Israel, terutama di daerah yang diklasifikasikan sebagai zona “C” menurut perjanjian Oslo, yang ditandatangani antara Otoritas Palestina dan penjajah Israel pada tahun 1993.
Peran Uni Eropa
Uni Eropa adalah pendukung utama para penduduk penghuni gua di Palestina, terutama di daerah Masafer Yatta, selatan Hebron, dengan menyediakan perumahan sementara dan jaringan air bagi mereka.
Selain itu mereka juga menyediakan panel tenaga surya untuk menghasilkan listrik, pada saat otoritas penjajah israel mencegah pendanaan Eropa untuk orang-orang Palestina di wilayah zona “C”, dan mereka terus-menerus menghancurkan proyek apa pun yang dilaksanakan Israel di wilayah tersebut.
Artikel ini telah tayang di Palinfo.com