Maryam Ibrahim, bocah 12 tahun asal Gaza, selamat dari luka parah di kepalanya akibat serpihan roket Israel yang menghantam rumah keluarganya. Operasi kompleks di Yordania akhirnya menyelamatkan hidupnya, tetapi perjalanan Maryam mencerminkan kenyataan pahit pasien Gaza yang bergantung pada izin langka untuk keluar dari blokade medis.

Sejak gencatan senjata 10 Oktober 2025, Maryam menjadi salah satu dari ratusan pasien yang diizinkan meninggalkan Gaza untuk mendapatkan perawatan kritis. Di sebuah rumah sakit di Amman, ia tersenyum saat video call dengan ayahnya di Palestina, meyakinkan: “Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?”

Serpihan roket telah menyebabkan retakan luas di tengkoraknya dan kerusakan otak serius. Dokter terpaksa mengangkat tulang depan kiri kepalanya, mengubah penampilan wajahnya setelah serangkaian operasi. Sebelum meninggalkan Gaza, Maryam menderita sakit kepala hebat, kejang berulang, dan demam tinggi yang mengancam nyawanya. Operasi perbaikan yang ia butuhkan tidak dapat dilakukan di dalam Gaza, menurut media Palestina.

Kasus Maryam tergolong langka. WHO mencatat hampir 16.500 pasien memerlukan perawatan kritis di luar Gaza, tetapi izin keluar diberikan sangat terbatas. Antara 13 Oktober dan 26 November 2025, 217 pasien berhasil meninggalkan Gaza, termasuk 72 pasien menuju Yordania. Namun, ribuan pasien lain masih menunggu kesempatan serupa.

Setelah operasi awal, Maryam menghadapi tantangan baru: menunggu hampir enam bulan izin untuk menjalani operasi rekonstruksi yang menjadi kunci kelangsungan hidupnya. Selama waktu itu, otaknya nyaris tanpa perlindungan, membuat setiap risiko kecil bisa mengancam fungsi neurologisnya.

Palestine Children’s Relief Fund, yang membiayai perawatan Maryam di Yordania, menekankan dampak “katastropik” perang terhadap kesehatan anak-anak: ribuan kehilangan anggota keluarga, mengalami cedera, cacat, atau trauma permanen, sementara rumah sakit dan fasilitas kesehatan banyak yang hancur.

Organisasi kemanusiaan menghadapi kesulitan besar mengevakuasi pasien. Beberapa paramedis, termasuk dua ahli bedah Inggris, dilarang masuk Gaza. Dr. Victoria Rose dari IDEALS menyebut hanya 47% tim darurat medis yang berhasil masuk Gaza sepanjang 2025. Situasi diperparah dengan ratusan dokter lokal ditahan, sementara nasib banyak lainnya tidak jelas, menambah beban tenaga medis yang terbatas.

Kasus Maryam menjadi sorotan internasional setelah guru asal Amerika, Rachel Griffin Accurso, alias “Ms. Rachel,” menyoroti kisahnya di Instagram, menyusul pengakuan Maryam tentang bullying akibat perubahan bentuk kepalanya.

Keluarga Maryam sadar kesempatan ini langka di tengah kerasnya kondisi Gaza. Mereka juga memahami bahwa setelah perawatan selesai, Maryam akan kembali ke lingkungan yang penuh tantangan, di mana harapan dan ancaman masih berjalan berdampingan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here