Sudah dua bulan sejak gencatan senjata yang dinanti-nantikan diumumkan, namun Gaza (kota kecil yang tertindas) masih terjebak dalam pusaran krisis yang tak kunjung berakhir. Suara senjata memang mereda dibandingkan masa pembantaian sebelumnya, tetapi ketenangan ini hanyalah gema tipis dari kehidupan yang masih menanggung luka.
Meskipun perang sedikit mereda, dampaknya tetap nyata. Reruntuhan menghantui setiap sudut, pelanggaran terus berlangsung, dan wajah-wajah warga masih diselimuti ketakutan dan duka yang mendalam. Kehancuran tidak hanya menyasar rumah dan fasilitas publik, tetapi juga mencuri harapan, membatasi akses warga pada kehidupan normal.
Jalan-jalan yang dulu ramai kini kosong dan muram. Air dan listrik langka. Anak-anak berjuang mendapatkan pendidikan setelah sekolah mereka hancur. Dokter bekerja keras menyelamatkan nyawa di tengah kekurangan obat dan peralatan medis yang parah.
Ilusi Gencatan Senjata
The Guardian menyoroti bahwa istilah “gencatan senjata” menimbulkan ilusi berbahaya: seakan kehidupan di Gaza kembali normal. Padahal 2,2 juta warga Palestina kini terkurung di 42% wilayah Gaza, dengan sembilan dari sepuluh orang kehilangan rumah, dan 81% rumah yang tersisa rusak atau hancur parah.
Sejak gencatan senjata 10 Oktober 2024, lebih dari 360 warga Palestina tewas, termasuk minimal 70 anak-anak, menurut data PBB. Meski jumlah korban menurun dibandingkan dua tahun sebelumnya, rata-rata tujuh orang masih tewas setiap hari—angka yang setara konflik aktif di belahan dunia lain. Amnesty International bahkan menegaskan Israel masih melakukan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan genosida.
Musim dingin menambah penderitaan. Hujan merusak tenda pengungsian, limbah mencemari lingkungan, meningkatkan risiko wabah penyakit. Warga hidup dalam ketidakpastian, di tengah blokade yang menahan mereka dari pemulihan yang sesungguhnya.
Kelaparan dan Penyakit Mengintai
Menurut Nestor Omohanji, perwakilan UNFPA di Palestina, sebagian besar keluarga Gaza masih tinggal di pengungsian padat yang terancam kelaparan dan penyakit. Gencatan senjata memang diperlukan, tetapi bukan akhir perang bagi perempuan dan anak-anak—secara fisik, emosional, maupun ekonomi.
Lebih dari 57 ribu keluarga dipimpin perempuan, banyak yang hidup dalam kondisi rapuh tanpa pendapatan. Mereka mengantri berjam-jam untuk air dan makanan, memasak di tungku terbuka, mencuci dengan ember, dan tidur di bawah selimut basah. Harapan mereka kini sederhana: tenda kering, pemanas kecil, dan penerangan yang cukup.
Hanya sepertiga fasilitas kesehatan yang beroperasi sebagian, semua kekurangan tenaga dan pasokan. Obat-obatan menipis, ruang bayi penuh sesak, tetapi tenaga medis tetap berjuang. Sistem kesehatan bertahan hanya karena dedikasi mereka, meskipun kehilangan nyawa telah parah. Pemulihan sektor kesehatan membutuhkan rekonstruksi fasilitas, pasokan obat yang stabil, dan penguatan tenaga medis.
Meski Gaza tetap terperangkap dalam kegelapan dan penderitaan, kota ini tetap menjadi simbol kesabaran dan keteguhan. Warga berjuang untuk hidup di tengah kondisi ekstrem, dan meski harapan redup, percikan kecil akan hari esok yang lebih baik tetap menyala.









