Pagi itu tampak biasa, tetapi hati Tesnim Hemmash dipenuhi firasat ganjil, seolah bahaya merayap pelan mendekatinya. Ia mengenakan jas putihnya (yang membawa jejak lelah, harapan, dan tangis para ibu yang pernah ia rawat) lalu melangkah cepat di tengah situasi perang yang tak kunjung berhenti.
Namun dalam satu kejapan, hidupnya jungkir balik. Perawat muda itu menjadi korban penculikan yang dilakukan kelompok bersenjata loyalis Yaser Abu Syabab, seorang kolaborator yang bekerja di bawah kendali militer Israel. Suara kasar dan ancaman memaksa diam detak jantungnya, seakan ia dicabut dari dunianya dalam sekejap. Tanpa memahami apa yang terjadi, Tesnim tahu satu hal: ia telah menjadi sandera.
Kini, setelah kembali dalam keadaan bebas, Tesnim Mrawan Hemmash mengisahkan pengalaman getir itu—pengalaman yang telah selesai baginya secara pribadi, namun masih membayangi keluarganya. Ayahnya, dr. Marwan Hemmash, hingga kini masih ditahan.
Disergap dengan Brutal, Ditahan Tanpa Alasan
Dalam wawancara khusus dengan Pusat Informasi Palestina, Tesnim mengungkap bahwa kelompok bersenjata milik Abu Syabab menculiknya dan menyerahkannya langsung kepada pasukan Israel. Ia kemudian dijebloskan ke sel sempit tanpa satu pun dakwaan.
Tesnim menggambarkan apa yang dialaminya sebagai “pengalaman traumatis” yang menorehkan luka mendalam bagi dirinya dan keluarga.
Ia menceritakan bagaimana para penculik menghadangnya secara tiba-tiba, menyeretnya dengan paksa sambil melontarkan ancaman yang sengaja diarahkan untuk mematahkan keberaniannya. Sejak detik awal, ancaman dan teror dipertontonkan untuk menakutinya.
Tesnim diseret, digeledah dengan cara “menghina dan tidak manusiawi,” lalu diserahkan kepada pasukan Israel tanpa proses hukum apa pun. Ia tidak diberi kesempatan membela diri atau memahami alasan penahanannya.
Ia kemudian ditempatkan di sel isolasi sempit dan gelap, terputus dari dunia luar selama berjam-jam, hanya ditemani suara teriakan dan ancaman dari lorong-lorong penjara, suara yang terus menajamkan rasa takutnya.
Tekanan terhadap Keluarga dan Interogasi Intimidatif
Tesnim menegaskan bahwa guncangan itu bukan hanya menimpanya. Keluarganya, terutama sang ayah, turut menjadi sasaran tekanan dan upaya intimidasi, seolah kecemasan mereka atas keselamatan Tesnim adalah alat tawar yang bisa dieksploitasi.
Selama ditahan, ia menghadapi interogasi bernada intimidatif, tuduhan tanpa dasar, dan janji-janji palsu tentang pembebasan—membuatnya terus hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan akan skenario terburuk.
Keputusan pembebasan sempat keluar, tetapi tidak langsung dilaksanakan. Ia masih ditahan beberapa hari tanpa alasan, sebuah langkah yang ia sebut sebagai upaya memperpanjang penderitaan dirinya dan keluarganya.
Menanti dalam gelap tanpa penjelasan apa pun menjadi saat-saat yang paling berat. Ia takut sewaktu-waktu dipanggil kembali untuk interogasi atau menghadapi perlakuan yang lebih buruk.
Di akhir kisahnya, Tesnim menyerukan penyelidikan menyeluruh atas penculikan dan penahanannya, serta meminta semua pihak yang terlibat diadili. Ia menegaskan perlunya perlindungan bagi warga sipil di Gaza dari segala bentuk pelanggaran hukum dan intimidasi yang mengancam kehidupan keluarga mana pun.
Luka yang Lebih Luas: Potret Penderitaan Para Tahanan Perempuan Palestina
Kisah Tesnim membuka kembali jendela gelap mengenai kondisi para perempuan Palestina yang ditahan di penjara Israel. Berdasarkan kesaksian para mantan tahanan, pengalaman Tesnim bukan pengecualian, tetapi bagian dari realitas panjang yang selama ini ditutupi tembok penjara.
Para perempuan Palestina menghadapi ancaman terhadap martabat mereka, tekanan psikologis, pengabaian kesehatan, serta kekerasan struktural yang merampas hak-hak dasar manusia.
Kisah Tesnim bukan sekadar tentang penyintas yang berhasil kembali. Ia adalah pintu bagi cerita yang lebih besar (kisah para perempuan yang hidup dalam bayang-bayang penindasan) di saat dunia begitu cepat bersuara ketika beberapa tentara Israel ditahan oleh pejuang Palestina, tetapi bungkam terhadap ratusan perempuan Palestina yang diperlakukan tanpa kemanusiaan.










