Rasa cemas dan syok mendalam menyelimuti puluhan keluarga Palestina di daerah terpencil “Ashkara,” selatan Tepi Barat, ketika mereka terbangun mendapati surat peringatan Israel tertempel di dinding sekolah dasar satu-satunya di wilayah itu. Surat tersebut memerintahkan penghancuran sekolah dalam waktu tujuh hari.

Sekolah ini, yang didirikan lima tahun lalu, telah menjadi pusat kehidupan. Kehadirannya mendorong tumbuhnya permukiman di sekitarnya dan menjadi harapan bagi anak-anak yang seluruhnya masih di bawah 10 tahun. Namun kini, ketakutan akan masa depan anak-anak mereka semakin nyata, mengingat izin bangunan dari Israel (yang hampir mustahil diperoleh di wilayah ā€œCā€) dijadikan alasan pembongkaran. Warga pun berharap campur tangan dunia internasional untuk mencegah tragedi ini.

Wilayah “C,” yang mencakup sekitar 60% Tepi Barat, sepenuhnya berada di bawah kendali Israel sesuai Perjanjian Oslo. Data dari Otoritas Penentang Tembok dan Permukiman Palestina menunjukkan, dalam 20 bulan terakhir, sejak dimulainya agresi di Gaza, Israel telah menggusur 30 komunitas Palestina di wilayah tersebut.

Rasa Takut yang Terus Membayang

Sebelum libur musim panas, Saddam Abu Qubaita rutin mengantar ketiga anaknya ke sekolah setiap pagi, lalu menjemput mereka pulang. Di pedesaan Palestina, anak-anak biasanya pergi ke sekolah dengan aman tanpa pendampingan orang tua. Namun di Ashkara, situasinya berbeda. Jalan menuju sekolah penuh risiko, mulai dari serangan pemukim ilegal hingga ancaman anjing liar.

Abu Qubaita menggunakan kendaraan khusus untuk medan sulit demi menjaga keselamatan anak-anaknya. Jika ia berhalangan, anak-anak pun terpaksa absen demi menghindari bahaya.

“Keberadaan sekolah ini sangat vital bagi kelangsungan komunitas. Sulit dibayangkan hidup tanpa sekolah,” kata Abu Qubaita kepada Al Jazeera Net. “Kalau sekolah ini dihancurkan, Na’udzubillah, anak-anak kami harus berjalan ratusan meter ke Sekolah Susya melalui jalur berbahaya. Alternatif lain adalah sekolah di Kota Yatta yang berjarak beberapa kilometer, tanpa transportasi umum, dan tetap berisiko tinggi.”

Abu Qubaita pun meminta langsung kepada Perwakilan Uni Eropa di Palestina, Alexander Stutzmann, serta organisasi HAM untuk turun tangan menyelamatkan 130 anak dari kemungkinan kehilangan hak dasar mereka: pendidikan.

Tekanan Terus Menerus

Khudor Nawaja’ah, salah satu guru di sekolah yang memiliki tujuh ruang kelas itu, menjelaskan bahwa sekolah ini dibangun pada 2020 lewat dukungan pemerintah, warga lokal, dan lembaga internasional. Saat ini, sekolah melayani 130 siswa dari taman kanak-kanak hingga kelas 4.

Menurutnya, kehadiran sekolah mendorong banyak keluarga Palestina membangun rumah di sekitarnya. Jika dihancurkan, akan terjadi kerugian besar dan memperkuat tekanan Israel agar warga Palestina hengkang.

Secara resmi, Kementerian Pendidikan Palestina sudah menyatakan keseriusan menghadapi ancaman pembongkaran ini dan mulai melakukan komunikasi dengan banyak pihak untuk mencegahnya.

Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, juru bicara Kementerian Pendidikan, Sadiq Khudor, menyebut bahwa “Sekolah Dasar Palestina” ini berada di wilayah Susya yang kerap diserang pemukim ilegal.

“Surat perintah pembongkaran dalam tujuh hari ini adalah puncak dari serangkaian serangan dan intimidasi terhadap sekolah dan warga setempat,” jelasnya.

Sekolah ini sendiri hanya terbuat dari seng dan lembaran logam, bukan beton permanen. Meski begitu, sekolah ini adalah satu-satunya harapan pendidikan bagi komunitas terpencil tersebut.

35 Sekolah Tantangan dan Keteguhan

Menurut Khudor, saat ini terdapat lebih dari 35 sekolah yang disebut “Sekolah Tantangan dan Keteguhan” di wilayah “C,” dengan sekitar 1.500 siswa dari taman kanak-kanak hingga kelas 4.

Sebagian besar sekolah ini telah menerima surat perintah pembongkaran, menjadi sasaran serangan, atau pernah dihancurkan lebih dari sekali. Dua sekolah di Ramallah bahkan terpaksa ditinggalkan setelah warganya dipaksa hengkang.

Khudor menegaskan, keberadaan sekolah-sekolah ini adalah simbol keteguhan warga Palestina melawan upaya pengusiran. Bahkan, di beberapa sekolah, jumlah murid hanya belasan orang. Namun, sekolah lain melayani beberapa komunitas dengan jumlah murid puluhan.

Perjuangan Guru yang Luar Biasa

Para guru yang mengajar di sekolah-sekolah tersebut juga harus menghadapi tantangan berat. Banyak di antara mereka harus naik kendaraan 4×4 atau bus khusus yang disediakan kementerian.

Pemerintah Palestina bahkan menetapkan 46 guru secara istimewa menjadi pegawai tetap, meski negara tengah mengalami krisis keuangan parah.

Pihak kementerian juga terus berupaya memenuhi semua kebutuhan sekolah dan meminta perlindungan internasional melalui berbagai kedutaan, negara, serta lembaga hak asasi manusia.

Berdasarkan data terbaru, sejak 7 Oktober 2023 hingga 1 Juli 2024, tercatat 104 siswa syahid, 966 terluka, dan 361 ditangkap di Tepi Barat. Empat guru juga syahid, 21 terluka, dan 182 ditangkap. Sementara itu, 152 sekolah mengalami kerusakan atau serangan dalam periode yang sama.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here