Di puncak musim dingin yang menggigit, hujan deras menghantam kain tenda yang sudah usang. Di dalamnya, Muhammad Abu Samak (berusia empat puluhan) duduk bersama istrinya dan empat anak mereka, berusaha mencari sedikit kehangatan di tengah udara dingin yang menusuk. Bau lembap memenuhi ruang sempit itu, sementara air merembes dari segala arah, membentuk genangan kecil yang tak pernah berhenti.

Sebelum perang, kehidupan mereka berbeda sepenuhnya. Di apartemen mungil mereka di Menara al-Qastal, timur Deir al-Balah, malam-malam musim dingin biasanya diisi tawa, wangi sahlab hangat, dan suara anak-anak yang bercampur dengan dentingan angin dari pemanas ruangan. Rumah itu penuh kenangan, setiap sudut adalah cerita, setiap ruang adalah pelukan bagi jiwa.

Kini, semua itu hilang. Apartemen mereka rata dengan tanah, hancur bersama irama roket dan dentuman bom.

Keluarga Abu Samak harus pindah ke sebuah tenda di barat Deir al-Balah, tenda yang bahkan tidak mampu menahan hujan, tidak sanggup menjaga anak-anak dari dingin malam. Setiap tetes air yang merembes menjadi pengingat pilu tentang rumah yang pernah menjadi tempat aman.

Rasa rindu itu muncul di setiap gerakan, di setiap tatapan, dan di setiap napas yang keluar dari tenda sempit itu. Muhammad memandang anak-anaknya yang meringkuk di sisinya, berusaha menyampaikan ketegaran, meski suaranya tak bisa menyembunyikan beban luka.

“Setiap malam hujan turun, saya ingat rumah lama… ingat pemanas ruangan… ingat hangatnya malam-malam kami,” ujarnya dengan lirih. “Sulit sekali menjelaskan pada anak-anak bahwa tidak ada rumah untuk kembali… tapi kami harus bertahan.”

Di sampingnya, sang istri memeluk putri bungsu mereka, Rahaf. Ia berusaha tersenyum, meski matanya sembab.

“Melihat anak-anak menangis karena kedinginan… mencoba berlindung dengan apa pun yang ada… rasanya hati saya seperti ikut sobek,” katanya. “Saya hanya ingin mereka tetap bisa tertawa, tetap bermain, walau sesaat saja lupa pada rasa sakit.”

Anak-anak pun mencoba beradaptasi. Naila, putri sulung, bicara dengan suara yang malu-malu namun penuh keteguhan.

“Aku sangat kedinginan… tapi aku bermain sama adik-adik supaya kami tidak sedih terus.”

Sementara itu, Qusay (satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga) tertawa kecil meski tubuhnya menggigil.

“Aku suka musim dingin… Tapi rumah lama lebih enak. Bisa duduk dekat pemanas, dan lihat kakak main.”

Muhammad memandang mereka dan menemukan kekuatan baru.

“Melihat mereka tetap mencoba tertawa… anak-anak tidak tahu apa itu kemurungan. Mereka mencoba mencintai musim dingin, seperti dulu sebelum perang. Itu yang membuat saya kuat.”

Aroma sahlab dan mahallabiyah yang dulu memenuhi rumah kini hanya tersisa sebagai kenangan jauh, tapi selalu mengingatkan mereka pada rasa aman.

Sang ibu, yang akrab dipanggil Umm Qusay, sesekali mencoba menyiapkan minuman atau makanan hangat, meski peralatan seadanya dan bahan yang makin sulit didapat.

“Kadang saya buatkan sesuatu yang sederhana, supaya mereka merasa hidup tidak berhenti,” ujarnya. “Agar mereka tahu bahwa tawa tetap bisa tumbuh, bahkan di tengah hujan dan dingin.”

Hujan dan angin memang tidak membunuh mimpi, tapi menguji ketabahan manusia hingga batas terjauh. Muhammad tetap percaya pada satu hal: harapan tidak pernah benar-benar padam.

“Meski semuanya hilang… rumah… pemanas… wangi makanan hangat itu… harapan tetap ada,” katanya mantap. “Kami akan tertawa lagi, hidup lagi, dan membangun kehangatan baru. Anak-anak inilah kekuatan kami.”

Dalam jeda hujan yang sejenak berhenti, Naila menatap orang tuanya dan berbisik pelan, suaranya bening seperti doa.

“Meskipun dunia ini dingin dan penuh hujan… kita bersama-sama. Kita bisa tertawa, bermain, dan saling sayang.”

Ketika hujan reda sesaat, Muhammad dan istrinya duduk melihat anak-anak mereka bermain di dalam tenda. Senyum yang pahit namun penuh kasih terlukis di wajah keduanya.

“Mereka adalah hidup kami,” kata Muhammad perlahan. “Mereka sumber kekuatan kami untuk terus berjalan. Apa pun yang terjadi, kami tidak akan berhenti. Kami akan membangun rumah kami lagi… bersama-sama, walau situasinya sesulit apa pun.”

Cerita keluarga Abu Samak bukan sekadar catatan tentang warga yang terusir dari rumahnya. Ini adalah kesaksian tentang ketabahan anak-anak, keberanian seorang ayah, keteguhan seorang ibu, dan kemampuan manusia untuk terus mencintai dan berharap—bahkan dalam musim dingin yang paling kejam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here