Spirit of Aqsa, Palestina – Israel terus memaksakan klaim mereka atas wilayah Al-Quds. Hingga saat ini, Israel terus melanjutkan pendudukan di wilayah Al-Quds Timur. Pertempuran demografis Israel untuk Al-Quds tersebut membuat warga Palestina harus berjuang untuk bertahan hidup.
Salah seorang warga Palestina menceritakan kisahnya yang berjuang akan nasib hidupnya ke depan. Setiap Jumat sejak menerima pemberitahuan penggusuran pertamanya pada 2009, Mohammed Sabbagh telah melakukan protes bersama warga Palestina dan Israel lainnya, beberapa meter dari rumahnya di Yerusalem Timur yang diduduki.
Kini, bersama dengan lebih dari 20 keluarga di distrik-distrik Yerusalem Timur dari Sheikh Jarrah dan Silwan, dia menghadapi kemungkinan menjadi tunawisma di tahun baru setelah pengadilan Israel memutuskan mendukung pemukim Yahudi yang bertekad mengusir mereka. Pada November 2020, pengadilan Hakim Yerusalem memerintahkan keluarga Sabbagh mengosongkan rumah mereka yang telah ditempati selama lebih dari 60 tahun.
Mereka juga diminta membayar kepada organisasi pemukim Nahalat Shimon Internasional sebesar 7.500 shekel (sekitar 1.720 pound) untuk biaya legal. Pengacara keluarga bisa menunda penggusuran dengan mendapatkan keputusan sementara.
Keluarga Sabbagh sekarang menunggu untuk mendengar dari pengadilan, apakah mereka dapat mengajukan banding atas putusan tersebut. Jika pengadilan menolak banding, keluarga tersebut akan dipaksa untuk meninggalkan properti mereka.
“Saya tidak percaya pada pengadilan Israel. Saya tahu mereka tidak akan berpihak pada kami. Mereka akan berdiri di sisi lain dan penggusuran akan terjadi,” kata Sabbagh kepada The New Arab, dilansir Kamis (7/1).
Menurut salah satu pengacara Sabbagh, Sami Ershaid, 13 keluarga di Sheikh Jarrah, termasuk keluarga Sabbagh, menghadapi penggusuran tersebut. Tujuh dari keluarga ini telah mengajukan banding atas keputusan pengadilan baru-baru ini, sementara lima keluarga lainnya masih berjuang melawan perintah penggusuran mereka di pengadilan distrik.
“Apa yang akan terjadi pada keluarga saya akan terjadi pada tujuh keluarga itu. Keluarga saya 32 orang. Dengan tujuh keluarga, berarti lebih dari 100 orang. Selain itu, 11 keluarga di Sheikh Jarrah telah digusur,” kata Sabbagh.
Di lingkungan Silwan di Batan al-Hawa, 12 keluarga dengan total 67 orang menghadapi penggusuran. Sejak 2015, 14 keluarga telah digusur. Warga Batan al-Hawa, Zuheir Rajabi, telah terlibat dalam perselisihan hukum dengan kelompok pemukim Ateret Cohanim sejak 2015.
Sidang pengadilan terbarunya dijadwalkan pada Desember, tetapi ditunda hingga April karena pandemi virus corona. Terlepas dari penundaan ini, Rajabi pesimistis banyak yang akan berubah dengan kasusnya.
“Tidak ada harapan dengan hakim, karena hakim sendiri adalah pemukim. Mereka ekstremis. Salah satu hakim pernah berkata kepada saya, ‘Saya menyarankan Anda mengevakuasi bangunan itu dan menerima kompensasi karena pada akhirnya saya akan mengeluarkan perintah untuk kepentingan para pemukim’,” kata Rajabi.
Silwan adalah bagian dari wilayah Yerusalem yang dikenal sebagai Cekungan Suci. Tanah itu didambakan oleh para pemukim Yahudi karena kedekatannya dengan Kota Tua dan diduga terhubung ke Raja Daud.
Mendirikan sebuah pusat Yahudi homogen di Cekungan Suci adalah bagian dari upaya yang lebih besar untuk ‘memaksakan Yudaisme’ Yerusalem. Hal itu secara efektif menghapus kemungkinan adanya ibu kota Palestina di kota tersebut.
Bagi Koordinator Mobilisasi Global dari organisasi komunitas Palestina Grassroots Al-Quds, Fayrouz Sharqawi, detail setiap kasus tidak sepenting pola pembersihan etnis yang sedang berlangsung di Yerusalem. Menurutnya, itu salah satu bagian dari teka-teki yang lebih besar dari sistem kolonial yang mengusir dan menggusur warga Palestina.
“Bukan hanya kasus hukum dari beberapa keluarga yang dapat Anda hitung dan berikan jumlahnya. Kami berbicara tentang 350 ribu warga Palestina yang tinggal di dalam batas kota Yerusalem yang menghadapi penggusuran yang datang dalam berbagai jenis dan bentuk dan warna,” kata Sharqawi.
Ia mengatakan, itu tidak berbeda dengan kasus keluarga Palestina yang rumahnya dihancurkan dengan alasan rumah mereka dibangun secara ilegal. Ia menyebut langkah Israel ini hanyalah wajah yang berbeda dari sistem yang sama, dari mesin yang sama yang menumbangkan warga Palestina dan telah dilakukan bahkan sebelum 1948.
Keluarga Sabbagh datang ke Yerusalem setelah melarikan diri dari Jaffa selama peristiwa Nakba 1948. Keluarganya, bersama dengan 27 keluarga pengungsi lainnya, pindah ke rumah-rumah di Sheikh Jarrah yang dibangun oleh pemerintah Yordania pada 1956.
Di bawah kesepakatan antara Yordania dan UNRWA, keluarga-keluarga tersebut menerima rumah ini (terletak di tanah yang pernah disewakan kepada komunitas Yahudi) dengan imbalan melepaskan status pengungsi mereka dengan UNRWA. Setelah tiga tahun, Yordania seharusnya memberi keluarga Palestina itu hak kepemilikan, tetapi tidak pernah melakukannya.
Menurut Rajabi, 90 persen keluarga di Silwan adalah pengungsi. Keluarganya pindah ke Silwan setelah diusir dari Kawasan Yahudi di Kota Tua pada 1967.
Selama perang 1948, sekitar 2.000 orang Yahudi melarikan diri atau diusir dari Yerusalem Timur dan sekitar 20 ribu orang Palestina melarikan diri atau dipaksa keluar dari rumah mereka di Yerusalem Barat. Diberlakukan pada 1970, Undang-Undang Masalah Administratif dan Hukum Israel dimaksudkan memulihkan properti yang hilang pada 1948, dan secara eksklusif untuk pemilik Yahudi.
Ada dua kelompok masyarakat mengungsi pada 1948, namun saat ini hanya penduduk Yahudi yang memiliki hak legal untuk kembali. Undang-undang ini (dan sebelumnya Undang-Undang Properti Absentee/Guntai) adalah yang digunakan oleh asosiasi pemukim seperti Ateret Cohanim, Nahalat Shimon, dan Elad untuk menuntut dan mengusir penduduk Palestina dengan dalih orang Yahudi Yaman memiliki tanah tersebut sebelum 1948, dan oleh karena itu tanah itu milik mereka.
Bagi Rajabi, apa yang terjadi dengan penggusuran ini bukanlah hal baru. Menurutnya, ini adalah kelanjutan dari Nakba pertama.
“Ini tidak terjadi secara acak. Ini adalah hal sistemik yang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah orang Palestina di Tanah Suci,” ujarnya. (Republika)