Hampir sebulan setelah diumumkannya gencatan senjata, Gaza belum benar-benar damai. Perang berhenti menyalak lewat bom dan roket, tapi berubah wujud menjadi perjuangan harian: bertahan, membangun kembali, dan mencari secuil kehidupan yang tersisa.
Di tengah keheningan yang menipu, warga Gaza kembali ke rumah-rumah yang sudah tak lagi berdiri. Mereka berjalan di antara puing dan debu, membawa kenangan dan harapan di punggung, menyalakan kembali semangat hidup di tempat yang kehilangan segalanya.
Mereka tahu yang menanti bukan rumah, melainkan reruntuhan. Namun keputusan untuk kembali adalah satu-satunya yang pasti. Di Shuja’iya, puluhan keluarga mendirikan tenda di atas taman yang kini hanya menyisakan batu dan debu. Abu Salah, salah satu warga, kembali sendirian bersama putranya untuk memperbaiki kamar yang masih bisa diselamatkan. “Aku tak sanggup jauh dari rumah ini,” katanya. “Di setiap sudutnya, ada potongan hidupku.”
Namun, bahkan setelah perang berhenti, suara ledakan belum hilang. Di dekat garis kuning pembatas, posisi militer Israel dan suara robot penghancur masih terdengar setiap malam. Di wilayah yang bahkan burung pun takut melintas, beberapa keluarga tetap bertahan—karena di sanalah mereka merasa hidup.
Di utara Gaza, seorang gadis bernama Nour (17 tahun) berjalan sendirian menuju Jabalya. Ia membawa seikat roti dan tas penuh buku. “Akhirnya aku bisa kembali ke rumah,” ujarnya pelan. “Tidur di tenda dengan sepuluh orang membuatku lupa rasanya punya kamar sendiri.”
Tidak jauh dari sana, Abu Abdullah kembali ke kebun kecil di rumahnya yang hancur. Dari seluruh pohon yang pernah ia tanam, hanya tersisa satu pohon lemon. “Usianya lebih tua dari negara mereka,” katanya dengan getir. “Selama pohon ini hidup, aku tahu tanah ini tidak akan mati.”
Namun bagi sebagian warga lain, pulang berarti menghadapi bahaya baru. Ma’in al-Hattou menemukan sebuah roket tak meledak di dinding rumahnya. Ia tak punya pilihan selain tetap tinggal di sana. “Bayangkan tidur di samping bom yang bisa meledak kapan saja,” ujarnya.
Sementara Um Mahmoud, seorang janda dengan enam anak, memilih tinggal di ruang kelas sekolah yang ia ubah jadi tempat berlindung. “Hidupku sekarang adalah perang lain,” katanya sambil menutup retakan jendela dengan plastik. “Setiap hari adalah pertempuran: mencari air, kayu bakar, dan cara agar anak-anakku bisa tetap hidup.”
Bagi banyak warga, perang tak berakhir, hanya berubah bentuk. Seperti Eid Saadallah, nelayan tua yang kini duduk di halaman sekolah, menjahit jaring robek yang ia temukan di bawah reruntuhan rumahnya. “Aku kehilangan perahu, alat, dan dua anakku,” katanya lirih. “Tapi aku harus memperbaiki ini. Kalau tidak, aku akan mati kelaparan.”
Di pasar, tanda-tanda kehidupan mulai muncul, tapi hanya di permukaan. “Perang sudah selesai di atas kertas,” kata Ghassan Iyad, pemilik toko kecil. “Tapi kantong kami tetap kosong. Orang-orang menatap makanan seperti melihat museum, ayam satu kilo harganya 20 dolar, dan siapa yang mampu membelinya?”
Perang mungkin telah mengaku pergi, tapi Gaza tahu: ia hanya berganti wajah. Di antara puing dan debu, rakyatnya berjuang tanpa jeda. “Jika ini bukan perang,” kata seorang warga, “lalu apa yang disebut perang?”









