Di ruang sidang sempit di Deir Al-Balah, seorang lelaki tua bernama Abu Omar berdiri di antara kerumunan warga yang membawa berkas. Ia kehilangan putranya setahun lalu akibat serangan udara Israel. Kini, ia datang untuk meminta hak asuh dua cucunya, setelah menantunya (janda sang syahid) memutuskan menikah lagi.
“Ini haknya,” katanya pelan. Tapi pengadilan menetapkan, sesuai hukum syariah, bahwa ketika seorang ibu menikah dengan laki-laki lain yang bukan kerabat anaknya, hak asuh berpindah kepada keluarga ayah. Sang kakek pun mendapatkan perwalian, dengan hak sang ibu tetap untuk bertemu anak-anaknya kapan pun ia mau.
Di sisi lain gedung yang sama, seorang perempuan bernama Siham, juga janda syahid dan ibu dari tiga anak, menunggu gilirannya. Ia menuntut hak perwalian penuh atas anak-anaknya, sesuatu yang ditolak oleh ayah mertuanya dengan alasan “hak wali” otomatis berpindah kepadanya.
“Aku tidak meminta apa pun untuk diriku,” kata Siham, “aku hanya ingin bisa mengurus pendidikan dan kehidupan anak-anakku tanpa harus menunggu izin siapa pun. Hidup kami tak bisa menunggu proses hukum yang panjang.”
Dua kisah itu hanyalah potret kecil dari ribuan perkara yang menumpuk di pengadilan Gaza sejak dua tahun perang memporakporandakan sektor hukum dan sosial. Ribuan keluarga kehilangan tulang punggungnya; sebagian musnah seluruhnya. Ada yang gugur, ada yang hilang, ada yang masih mencari identitas di antara berkas-berkas kematian yang belum tercatat.
Menurut UNICEF, lebih dari 64 ribu anak Palestina terbunuh atau terluka dalam agresi Israel, dan 58 ribu anak lainnya kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya.
Keadilan di Tengah Kekosongan
Pengadilan dan lembaga hukum di Gaza kini menghadapi beban yang luar biasa. Jumlah perkara meningkat tajam: hak asuh anak, perwalian, pewarisan, hingga status pernikahan. Banyak keluarga kehilangan dokumen kepemilikan atau ahli waris, sementara sistem administrasi sipil lumpuh akibat perang.
“Selama perang, kami menangani lebih dari 82 ribu perkara,” kata Hakim Ahmad Habib dari Pengadilan Syariah Deir Al-Balah. “Mulai dari kematian, pernikahan, perceraian, hingga izin bepergian bagi anak yatim atau mereka yang kehilangan wali.”
Sebagian besar kantor pengadilan hancur, beberapa hakim gugur, dan banyak sidang kini digelar di ruang darurat atau tenda. Namun, para hakim dan staf tetap bekerja, mencoba menjaga agar rasa keadilan tidak ikut runtuh bersama gedung-gedung yang porak poranda.
Antara Hukum dan Luka Sosial
Hossam Al-Sya’ar, penulis petisi di pengadilan syariah, mengaku beban kerja kini berlipat ganda. “Setiap hari kami menulis ratusan permohonan: pencatatan kematian, permohonan warisan, izin perwalian, hingga pengesahan nikah dan talak,” katanya. “Setiap berkas mengandung kisah kehilangan.”
Yang paling menyayat, katanya, adalah menulis permohonan atas nama ibu-ibu muda yang kehilangan suami atau anak. “Setiap dokumen adalah kisah duka yang belum selesai,” ujarnya lirih.
Sementara pengacara Syamsa Mansur menilai, perang telah “mengoyak struktur sosial Gaza hingga ke fondasinya.” Kasus warisan dan hak asuh kini sering memicu ketegangan antarkeluarga, menguji solidaritas yang dulu kokoh. “Ketika sistem hukum melemah, kepercayaan dalam keluarga juga ikut goyah,” katanya.










